Pengamat: Skema “power wheeling” berisiko merugikan masyarakat dan negara
Liberalisasi ketenagalistrikan dalam bentuk power wheeling melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Jakarta (ANTARA) – Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai konsep power wheeling merupakan bentuk liberalisasi ketenagalistrikan yang berisiko merugikan masyarakat dan negara.Liberalisasi ketenagalistrikan dalam bentuk power wheeling melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, ujarnya. pernyataannya di Jakarta, Senin.
Power wheeling merupakan mekanisme yang memungkinkan pengembang listrik swasta atau produsen listrik independen (IPP) membangun pembangkit listrik dan menjualnya langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi milik negara.
Fahmy menjelaskan power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling ini bahkan telah dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan unbundling ketenagalistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Kemudian, undang-undang tersebut direvisi dengan menghapus pasal unbundling.
“Selain bertentangan dengan UUD dan putusan MK, Kementerian Keuangan juga dengan tegas menolaknya karena membebani beban fiskal negara. Dalam hal ini subsidi energi pasti akan meningkat,” kata Fahmy.
Jika negara tidak mau menaikkan subsidi energi, menurutnya masyarakat akan menanggung beban risiko kenaikan tarif listrik yang saat ini masih dikendalikan oleh negara.