Mengkaji manfaat merger maskapai penerbangan milik negara
Penggabungan ini, khususnya penggabungan antara Citilink dan Pelita Air, merupakan langkah yang baik karena pasarnya terus berkembang.
Jakarta (ANTARA) – Efisiensi menjadi agenda utama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar merger atau peleburan dua perusahaan atau lebih dalam satu kepemilikan terus digalakkan, termasuk tiga maskapai penerbangan milik BUMN.Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan Kementerian BUMN berencana menggabungkan PT Garuda Indonesia (Persero), PT Citilink Indonesia, dan PT Pelita Air Service, sebagai upaya menekan biaya logistik di Indonesia agar industri penerbangan menjadi efisien.
Merger, apalagi pada masa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir, bukanlah hal baru. Pada tahun 2021, Erick menggabungkan empat PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo menjadi satu, dengan tujuan meningkatkan efisiensi pelabuhan nasional.
Penggabungan Pelindo menurunkan biaya logistik yang mencapai 23 persen menjadi 11 persen.
Selain itu, penggabungan tiga maskapai ini dilakukan untuk memperkuat industri penerbangan Indonesia yang saat ini memiliki sekitar 500 pesawat. Namun angka tersebut belum bisa dikatakan ideal jika melihat industri penerbangan Amerika Serikat.
Amerika Serikat memiliki 7.200 pesawat dengan jumlah penduduk sekitar 303 juta orang, dan rata-rata pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 40.000 dolar AS. Sedangkan Indonesia berpenduduk 280 juta jiwa dengan PDB sekitar 4.700 dolar AS.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya 10 persen, maka idealnya Indonesia punya sebanyak 720 pesawat. Artinya, Indonesia kekurangan sekitar 220 pesawat dibandingkan jumlah pesawat saat ini.
Oleh karena itu, merger dilakukan untuk mengatasi kekurangan tersebut. Rincian kepemilikan ketiga maskapai tersebut saat ini adalah Garuda memiliki 60 pesawat, Citilink memiliki 50 pesawat, dan Pelita memiliki 8 pesawat dan didorong memiliki 20 pesawat.
Sebaliknya, jika jumlah pesawat yang dimiliki pemerintah bertambah, maka harga tiket pesawat akan semakin kompetitif. Pemerintah saat ini menguasai 35 persen industri penerbangan di Indonesia, sedangkan 65 persen sisanya dikuasai swasta.
Selanjutnya, rencana merger yang dipimpin Kementerian BUMN akan mempertahankan entitas Garuda Indonesia, sedangkan Citilink dan Pelita Air akan merger.
Sementara ketiganya akan tetap beroperasi sesuai target pasarnya masing-masing, yakni Garuda Indonesia di kelas premium, Citilink di kelas low cost carrier (LCC) atau tarif rendah, dan kelas ekonomi premium yang dilayani Pelita Air.
Manfaat penggabungan
Pengamat Ekonomi sekaligus Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menyambut positif rencana merger maskapai pelat merah tersebut.
Sentimen positif juga terlihat melalui kenaikan harga saham Garuda Indonesia (GIAA), setelah Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan rencana merger tersebut. Saham GIAA pada 18 Agustus tercatat Rp 64 per saham, naik menjadi Rp 96 per saham pada 25 Agustus, sedangkan pada 8 September berada di Rp 91 per saham.
Penggabungan ini, khususnya merger antara Citilink dan Pelita Air, dinilai merupakan langkah yang baik seiring dengan pertumbuhan pasar yang terus berkembang. Padahal, kelas LCC yang akan dijalankan kedepannya berpotensi lebih besar lagi.
Selain itu, merger dapat memberikan kekuatan besar kepada Pemerintah melalui penambahan aset sehingga dapat menjadi pilihan bagi konsumen di masa depan. Terutama pada rute-rute penerbangan yang masih terdapat pembatasan atau belum dilayani oleh maskapai pelat merah, sehingga monopoli dapat dihindari.