Mengharapkan pemilu tanpa dampak demokratis
Belum lagi, terkait persidangan mengenai pelanggaran etik dalam sidang Mahkamah Konstitusi hingga memutus uji materi aturan syarat calon, semakin membuat gaduh dunia politik.
Hal ini juga berlaku pada netralitas aparatur negara, yang saat ini mungkin tidak lagi cukup hanya sekedar digaungkan, namun harus diwujudkan dalam praktik pengawasan dan penindakan. Munculnya tanda-tanda praktik politik dinasti dan nepotisme seolah membawa awan duka di langit demokrasi.
Panggung politik pemilu saat ini terlalu banyak menampilkan drama dan ibarat sinetron yang mengkhawatirkan, karena dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap jalan sehat pesta demokrasi. Dalam situasi seperti ini, catatan semangat reformasi pada tahun 1999 mungkin layak disajikan sebagai refleksi penting mengenai tonggak sejarah menuju demokrasi.
Di tengah kecurigaan sebagian masyarakat terhadap netralitas, Presiden Joko Widodo mengingatkan persaingan politik sebagai hal biasa yang harus dilakukan tanpa merusak semangat persatuan dan kesatuan.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya menghadirkan pesta demokrasi yang berkualitas demi kemajuan bangsa dan negara ke depan.
Perlu disadari bahwa tahapan pemilu hingga saat ini tidak cukup hanya menghadirkan calon presiden dan wakil presiden untuk dihadirkan kepada masyarakat sebagai pemilih pada 14 Februari 2024.
Proses kehadirannya sebagai calon juga harus menjaga nilai-nilai luhur, etika, dan moral budaya demokrasi. Sebaliknya, pemilih secara cerdas dan berbudi luhur digiring ke tempat pemungutan suara, melalui kotak pemilihan.
Tujuannya agar pemenang kontestasi tidak dianggap cacat karena demokrasi terhindar dari cedera dan masyarakat menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi karena memilih secara mulia. Terlihat dari puisi “Sabtu Malam di Angkringan”, pemenang pemilu harus benar-benar menjadi sandaran negara, tempat peristirahatan yang kuat bagi masa depan bangsa.
Pemilihan umum sudah tepat dan tidak boleh hanya melibatkan pasangan calon dan partai politik pengusungnya untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, baik calon maupun masyarakat beserta wakilnya, menyelenggarakan pesta demokrasi secara bermartabat.
Puisi lain berjudul “Demokrasi” (2018) yang juga merupakan bagian dari antologi “Khong Guan Banquet” sepertinya harus dipahami melalui paradigma terbalik untuk menyampaikan harapan baik dan bermartabat kepada calon dan rakyat.
“Orangnya adalah Sukir, kusir yang memberikan tempat duduk kepada penumpang bernama Sukri dengan imbalan acungan jempol dan janji. Sukir dan keretanya tetap hepi, kling klong kling klong. Sukri tidak bisa duduk nyaman lagi, pantatnya sakit. dari digigit kursi,” demikianlah puisi itu.
Harapan agar tetap kekinian, pesan penuh makna juga diungkapkan seniman tani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui festival seni budaya mandiri tahunan mereka, Festival Lima Gunung XXII/2023 di penghujung. bulan Agustus lalu.
Festival ini mengangkat tema “Kalis ing Kahanan”. Pesan yang terkandung dalam tema tersebut nampaknya tidak hanya sekedar menjaga masyarakat yang berbudaya luhur agar tidak terlindung dari situasi yang tidak menentu, namun juga menjaga harapan massa partai politik tetap dalam semangat demokrasi.
Pemilu yang demokratis diakui sebagai bagian penting bagi kemajuan masa depan peradaban bangsa dan negara ini. Jangan sakiti!
Editor: Masukkan M. Astro
HAK CIPTA © ANTARA 2023