Figur Prabowo dan Tradisi Banyumasan
Semasa masih hidup, jika Pak Cum ingin menulis buku atau produk intelektual lainnya, dan jika memerlukan konsentrasi tinggi, Pak Cum akan lebih nyaman menulis di Kebumen, dibandingkan di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Rumah Kebayoran Baru kini menjadi kediaman pribadi Prabowo. Pak Cum dulu juga tercatat sebagai sesepuh komunitas Seruling Mas (Seruan Eling Banyumas), sebuah komunitas kekerabatan warga Banyumas (budaya) di Jakarta.
Sarwo Edhi kepada Prabowo
Sebagai kesatuan elit, wajar jika Kopassus selalu menjadi sorotan, baik oleh elite politik (sipil) maupun masyarakat biasa.
Masyarakat bisa menjadi saksi bahwa salah satu fenomena Kopassus yang paling menonjol adalah secara kelembagaan telah banyak melahirkan tokoh-tokoh kharismatik yang memberi warna pada politik Indonesia kontemporer.
Tak berlebihan jika dikatakan dua pimpinan Kopassus yang paling dikenang masyarakat adalah Sarwo Edhi Wibowo (1964-1966) dan Prabowo Subianto (1995-1998).
Seperti terlihat saat ini, ketika beberapa mantan Komandan Korps Baret Merah mengisi panggung politik terkait pemilihan presiden dengan perannya masing-masing.
Diantaranya adalah Agum Gumelar (Akmil 1968), Prabowo Subianto (1974), Muchdi Purwoprandjono (Akmil 1970), dan Lodewijk Paulus (Akmil 1981).
Perilaku politik mantan Danjen Kopassus atau tokoh berpengaruh lainnya bisa menjadi kajian menarik tersendiri.
Satu hal yang mengemuka, berkat kompetensi dan kemampuan yang melekat, para mantan pimpinan Korps Baret Merah itu harus mencari mitra lain untuk menyalurkan tenaga dan pikirannya. Mereka tidak mungkin berada di skuad selamanya.
Sarwo Edhi misalnya, selain dikenal sebagai panglima pasukan elit, juga turut andil dalam peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dengan mendukung Gerakan Mahasiswa Angkatan 1966.
Setelah tidak terlalu aktif di militer, Sarwo Edhi menjabat sebagai Duta Besar Indonesia (pertama) untuk Korea Selatan, kemudian dilanjutkan sebagai Kepala BP7 dan salah satu direktur jenderal Kementerian Luar Negeri (Dirjen Politik Luar Negeri).
Namun karir Sarwo Edhie tidak berkembang di TNI, melainkan lebih banyak di birokrasi sipil.
Baik juga untuk menyampaikan satu pengalaman yang sangat membekas di hati Prabowo, mengapa ia begitu mencintai dua unit yang pernah dipimpinnya, Kopassus dan Kostrad.
Saat Prabowo baru bergabung di Kostrad, dengan jabatan Wakil Komandan Batalyon Lintas Udara 328/Kujang II Kostrad, terjadi peristiwa penting yang sangat mempengaruhi sikap dan pemikiran Prabowo.
Peristiwa yang dimaksud adalah upacara pergantian baret, dari Baret Merah (Kopassus) menjadi Baret Hijau (Kostrad) di Makassar, pada pertengahan tahun 1985.
Pergantian baret ini merupakan dampak dari reorganisasi Kopassus yang pelaksanaannya berupa perampingan jumlah anggota.
Pada fase ini, peran para petinggi Kopassus, salah satunya Prabowo, sangat menentukan dengan memperkuat semangat anak buahnya yang tidak akan lolos seleksi ulang menjadi anggota Kopassus.
Anggota Kopassus yang tidak lolos seleksi ulang kemudian dimutasi menjadi anggota Brigade Infanteri Lintas Udara 3 Kostrad generasi pertama yang bermarkas di Makassar.
Satuan ini masih eksis hingga saat ini, dan merupakan inti dari Divisi Infanteri 3 Kostrad. Peristiwa yang sangat mengharukan akhirnya terjadi, ketika anggota Kopassus berjongkok untuk melepas baret merah lambang prajurit komando, lalu menggantinya dengan Baret Hijau atribut pasukan lintas udara.
Kenyataan yang berat, harus melepas baret kebanggaannya, banyak prajurit yang melakukannya dengan mata berkaca-kaca, bahkan sampai menitikkan air mata.
Sebagai tentara, mereka tetap menaati perintah, betapapun beratnya perintah tersebut.
Dalam situasi kritis seperti ini, kemampuan seorang pemimpin benar-benar diuji, seperti penuturan di awal artikel ini.
*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen di UCIC, Cirebon
Hak Cipta © ANTARA 2024