NEWS

Figur Prabowo dan Tradisi Banyumasan

Figur Prabowo dan Tradisi Banyumasan

Jakarta (ANTARA) – Seorang pemimpin biasanya diuji ketika menghadapi krisis. Dalam situasi krisis pun, kualitas seorang pemimpin akan terlihat, bagaimana ia menangani situasi dengan tenang, nyaris tanpa gejolak.Pembelajaran seperti ini bisa dipetik dari model kepemimpinan Prabowo Subianto. Model kepemimpinan Prabowo sejak masih bertugas di Kopassus, Kostrad, hingga memimpin organisasi masyarakat sipil (sebagai pendiri dan Ketua Umum Partai Gerindra), nampaknya selalu kekinian.

Sosok Prabowo sangat identik dengan Korps Baret Merah (Kopassus), mengingat sebagian besar karir militernya dihabiskan di kesatuan yang bermarkas di Cijantung (Jakarta Timur).

HUT Kopassus ke-72 pada 16 April 2024 bisa menjadi momen refleksi kepemimpinan Prabowo, jelang pelantikannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024.

Sosok Prabowo juga dapat ditelusuri secara budaya, bahwa Prabowo mempunyai latar belakang tradisional di Banyumasan, Jawa Tengah.

Sejak dulu, Prabowo selalu mendeklarasikan dirinya sebagai “wong Kebumen” (aslinya dari Kebumen).

Warisan Tuan Cum

Latar belakang budaya Prabowo dalam konteks tradisi Banyumasan dapat ditelusuri dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai ekonom senior, mantan menteri, dan intelektual pendiri Fakultas Ekonomi (FE) UI.

Pak Cum, sapaan akrab Sumitro, dalam wawancara khusus dengan media nasional pada era 1990-an, dengan nada bercanda dan bangga menyatakan dirinya sebagai orang Banyumas.

“Saya dari Banyumas, kalau ngomong blak-blakan,” kata Pak Cum, saat itu.

Pak Cum lahir di Kebumen, 28 Mei 1917. Tradisi Banyumas merupakan sub kebudayaan tersendiri, selain dialeknya juga berbeda tingkah lakunya jika dibandingkan dengan kebudayaan Jawa “sentral” Mataram (Yogyakarta dan Solo).

Bahasa Jawa Dialek Banyumasan tidak mempunyai strata seperti Kromo Ingil (bahasa tinggi) dan ngoko (bahasa masyarakat), hal ini berdampak pada perilaku warga pendukung tradisi Banyumasan yang dinilai lebih terbuka dan egaliter.

Daerah yang berbudaya ini merupakan tempat asal keluarga besar Pak Cum dan Prabowo Subianto.

Tradisi Banyumasan sendiri mengacu pada bekas wilayah Karesidenan Banyumas yang meliputi kota Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap.

Dalam komunikasi sehari-hari, dialek Banyumasan juga digunakan oleh warga Kebumen yang secara administratif sebenarnya merupakan wilayah eks Karesidenan Kedu (Magelang dan sekitarnya).

Kebumen memiliki kedudukan yang khas dalam sejarah militer di Tanah Air. Hal ini berkat keberadaan Gombong, sebuah kota kecamatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Kebumen yang terletak di sebelah timur Kota Purwokerto.

Di Gombong dulunya terdapat lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL (tentara Hindia Belanda).

Keberadaan Gombong sebagai tempat pelatihan calon anggota KNIL ibarat simbiosis mutualisme, mengingat wilayah Banyumas telah lama dikenal sebagai sumber rekrutmen calon anggota KNIL.

Dari sinilah tradisi perwira asal Banyumas bermula, dan pada suatu masa sangat mewarnai sejarah militer negeri ini, khususnya unsur pimpinannya.

Setelah banyak melahirkan tokoh-tokoh militer, kini dari daerah adat Banyumasan telah lahir seorang Presiden RI yaitu Prabowo Subianto yang sebelumnya juga terkenal sebagai tokoh militer.

Kedua adik Pak Cum juga ikut bergabung di TNI pada masa awal berdirinya republik, yaitu Lettu Soebianto Djojohadikusumo dan Kadet (Akademi Militer Tangerang) Soejono Djojohadikusumo.

Sayangnya keduanya pergi terlalu cepat, dan kebetulan juga meninggal dunia pada saat yang bersamaan, sebuah kenyataan yang sangat sulit bagi Pak Cum dan ayah Pak Cum (RM Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI tahun 1946).

Kedua adik Pak Cum gugur dalam pertempuran yang kemudian dikenang sebagai “Insiden Lengkong” (25 Januari 1946). Lokasi kejadian tak jauh dari perumahan Bumi Serpong Damai (BSD).

Sebagai mengenang kedua adiknya yang gugur di medan perang, Pak Cum kemudian mengambil nama kedua almarhum untuk dicantumkan pada kedua putranya, masing-masing Subianto untuk Prabowo, dan Sujono untuk Hasyim (Hashim Sujono Djojohadikusumo).

Sebagai seorang wirausaha, Hasyim juga tidak lepas dari tradisi Banyumasan, ketika induk perusahaannya bernama Tirta Mas Group.

Tirta Mas sendiri merupakan semacam “julukan” bagi daerah dan budaya Banyumas. Sementara itu, Prabowo mengikuti jejak kedua mendiang pamannya, dengan memilih karier sebagai tentara.

Sebagai warga asli Kebumen, bagi Pak Cum selalu ada tempat untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Banyumas.

Semasa masih hidup, jika Pak Cum ingin menulis buku atau produk intelektual lainnya, dan jika memerlukan konsentrasi tinggi, Pak Cum akan lebih nyaman menulis di Kebumen, dibandingkan di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Rumah Kebayoran Baru kini menjadi kediaman pribadi Prabowo. Pak Cum dulu juga tercatat sebagai sesepuh komunitas Seruling Mas (Seruan Eling Banyumas), sebuah komunitas kekerabatan warga Banyumas (budaya) di Jakarta.

Sarwo Edhi kepada Prabowo

Sebagai kesatuan elit, wajar jika Kopassus selalu menjadi sorotan, baik oleh elite politik (sipil) maupun masyarakat biasa.

Masyarakat bisa menjadi saksi bahwa salah satu fenomena Kopassus yang paling menonjol adalah secara kelembagaan telah banyak melahirkan tokoh-tokoh kharismatik yang memberi warna pada politik Indonesia kontemporer.

Tak berlebihan jika dikatakan dua pimpinan Kopassus yang paling dikenang masyarakat adalah Sarwo Edhi Wibowo (1964-1966) dan Prabowo Subianto (1995-1998).

Seperti terlihat saat ini, ketika beberapa mantan Komandan Korps Baret Merah mengisi panggung politik terkait pemilihan presiden dengan perannya masing-masing.

Diantaranya adalah Agum Gumelar (Akmil 1968), Prabowo Subianto (1974), Muchdi Purwoprandjono (Akmil 1970), dan Lodewijk Paulus (Akmil 1981).

Perilaku politik mantan Danjen Kopassus atau tokoh berpengaruh lainnya bisa menjadi kajian menarik tersendiri.

Satu hal yang mengemuka, berkat kompetensi dan kemampuan yang melekat, para mantan pimpinan Korps Baret Merah itu harus mencari mitra lain untuk menyalurkan tenaga dan pikirannya. Mereka tidak mungkin berada di skuad selamanya.

Sarwo Edhi misalnya, selain dikenal sebagai panglima pasukan elit, juga turut andil dalam peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dengan mendukung Gerakan Mahasiswa Angkatan 1966.

Setelah tidak terlalu aktif di militer, Sarwo Edhi menjabat sebagai Duta Besar Indonesia (pertama) untuk Korea Selatan, kemudian dilanjutkan sebagai Kepala BP7 dan salah satu direktur jenderal Kementerian Luar Negeri (Dirjen Politik Luar Negeri).

Namun karir Sarwo Edhie tidak berkembang di TNI, melainkan lebih banyak di birokrasi sipil.

Baik juga untuk menyampaikan satu pengalaman yang sangat membekas di hati Prabowo, mengapa ia begitu mencintai dua unit yang pernah dipimpinnya, Kopassus dan Kostrad.

Saat Prabowo baru bergabung di Kostrad, dengan jabatan Wakil Komandan Batalyon Lintas Udara 328/Kujang II Kostrad, terjadi peristiwa penting yang sangat mempengaruhi sikap dan pemikiran Prabowo.

Peristiwa yang dimaksud adalah upacara pergantian baret, dari Baret Merah (Kopassus) menjadi Baret Hijau (Kostrad) di Makassar, pada pertengahan tahun 1985.

Pergantian baret ini merupakan dampak dari reorganisasi Kopassus yang pelaksanaannya berupa perampingan jumlah anggota.

Pada fase ini, peran para petinggi Kopassus, salah satunya Prabowo, sangat menentukan dengan memperkuat semangat anak buahnya yang tidak akan lolos seleksi ulang menjadi anggota Kopassus.

Anggota Kopassus yang tidak lolos seleksi ulang kemudian dimutasi menjadi anggota Brigade Infanteri Lintas Udara 3 Kostrad generasi pertama yang bermarkas di Makassar.

Satuan ini masih eksis hingga saat ini, dan merupakan inti dari Divisi Infanteri 3 Kostrad. Peristiwa yang sangat mengharukan akhirnya terjadi, ketika anggota Kopassus berjongkok untuk melepas baret merah lambang prajurit komando, lalu menggantinya dengan Baret Hijau atribut pasukan lintas udara.

Kenyataan yang berat, harus melepas baret kebanggaannya, banyak prajurit yang melakukannya dengan mata berkaca-kaca, bahkan sampai menitikkan air mata.

Sebagai tentara, mereka tetap menaati perintah, betapapun beratnya perintah tersebut.

Dalam situasi kritis seperti ini, kemampuan seorang pemimpin benar-benar diuji, seperti penuturan di awal artikel ini.

*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen di UCIC, Cirebon

Hak Cipta © ANTARA 2024

Exit mobile version