Daya juang para relawan yang memenuhi panggilan kemanusiaan
Saking derasnya aliran air, karena berasal dari titik jebolnya tanggul Sungai Wulan, perahu karet menghantam atap rumah warga hingga tidak terlihat karena terendam air.
Untuk menyelamatkan perahunya agar tidak bocor, kakinya secara refleks mencoba menendang atap baja ringan tersebut.
Namun sayang, kaki kirinya terpotong oleh ujung tajam baja ringan tersebut.
Meski terluka, ia tak kapok membantu mengevakuasi warga. Bahkan, dia siap dikerahkan hingga banjir benar-benar surut.
Banjir yang terjadi di Kabupaten Karanganyar mampu menarik perhatian banyak pihak dari berbagai daerah. Ada ribuan relawan yang membantu mengevakuasi warga, tidak hanya dari Kabupaten Kudus tapi juga dari Jepara, Pati, Rembang, Magelang dan beberapa daerah lainnya.
Selain bertugas melakukan penyelamatan, ada juga relawan yang bekerja di dapur umum untuk menyuplai kebutuhan pangan sehari-hari para penyintas yang saat itu memiliki lima titik pengungsian di Kabupaten Kudus.
Titik pengungsian berada di Jembatan Tanggulangin, Terminal Induk Jati Kudus, Kantor Koramil Jati, Balai Desa Jati Wetan, dan DPRD Kudus.
Peran relawan di dapur umum tidak bisa dianggap remeh karena mereka bertugas menyiapkan makanan untuk pengungsi dan relawan yang bertugas mengevakuasi korban banjir.
Yoga Prasetya Utama adalah satu dari ratusan relawan yang bekerja di dapur umum di Jembatan Tanggulangin.
Pemuda asal Desa Ketileng, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara ini bertugas membantu memasak dan memenuhi kebutuhan lainnya di dapur sejak Kabupaten Karanganyar dilanda banjir pada Kamis (8/2).
Relawan PMI Jepara dan empat rekannya asal Jepara itu ditemani 30 relawan lainnya dari berbagai daerah di Jawa Tengah sejak Kamis (8/2) malam.
Meski dituntut kerja keras untuk membantu menyediakan 3.000 bungkus beras setiap harinya, ia mengaku mampu melakukannya. menikmati dan tidak ada penyesalan meskipun aku bekerja tanpa imbalan sama sekali.
Ia justru merasa bangga bisa membantu meringankan warga yang kesusahan akibat banjir dan tidak tahu kapan bisa pulang.
Faktanya, para relawan ini tidak seperti pengungsi yang dibekali kasur dan selimut busa serta tenda yang tertutup rapat sehingga tidak merasakan dinginnya udara di malam hari. Para relawan tidur di tenda-tenda tempat mereka menyimpan berbagai logistik untuk memasak dan bahan pengemas makanan jika sudah matang.
Meski bosan tidur di tempat itu, ia terpaksa pindah ke tempat ibadah yang berjarak sekitar 300 meter dari tenda dapur umum.
Etos kerja tinggi juga ditunjukkan Maftukin dengan dipercaya sebagai koordinator lapangan dapur umum Jembatan Tanggulangin. Selain bertugas sebagai juru masak, ia juga memerintahkan segala hal yang perlu dipersiapkan agar setiap harinya bisa menyiapkan 3.000 bungkus beras untuk dibagikan kepada pengungsi pada pagi, siang, dan malam hari.
Panasnya sinar matahari dan panasnya api kompor menjadi “makanan” kesehariannya. Bahkan terkadang harus merasa kedinginan karena hujan dan tetap harus menyiapkan makanan untuk para pengungsi dan relawan.
Untuk mempercepat penyediaan pangan setiap harinya, sekitar 30 relawan khusus dikerahkan untuk bertugas di dapur umum. Belum termasuk relawan yang bekerja di dapur umum Terminal Utama Jati Kudus.
Karena ada sekitar 4.000 warga Demak yang mengungsi ke Kabupaten Kudus, maka kedua dapur umum tersebut bertugas memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari para pengungsi.
Meski harus meninggalkan istri dan anak, Maftukin yang tergabung dalam Taruna Siaga Bencana (Tagana) tetap ceria menyiapkan makanan untuk para pengungsi. Bahkan, ia siap bekerja hingga banjir di Kabupaten Karanganyar benar-benar surut
Baginya, menjadi sukarelawan merupakan panggilan kemanusiaan yang membanggakan karena ia bisa membantu orang lain tanpa menuntut imbalan apa pun.
Redaktur: Achmad Zaenal M
Hak Cipta © ANTARA 2024