… menjadi sukarelawan adalah panggilan kemanusiaan yang membanggakan karena Anda dapat membantu orang lain tanpa menuntut imbalan apa pun. Demak (ANTARA) – Relawan berjaket oranye yang ditutupi pelampung terlihat menghampiri petugas yang sedang meninjau lokasi banjir. Dia berpindah kesana kemari sambil membawanya mudah bicara atau HT untuk memantau situasi terkini di lokasi banjir. Alat komunikasi ini tak pernah lepas darinya, bahkan saat ia dan relawan lainnya mengevakuasi korban banjir.Wajahnya terlihat lelah dan kusam, menandakan ia bekerja ekstra keras di bawah terik matahari yang terkadang diselingi hujan. Meski lelah, ia tetap mampu menjawab setiap pertanyaan dengan detail.
Dialah Nur Cholis, relawan asal Kabupaten Kudus. Pria berusia 53 tahun ini mengaku mulai bekerja sebagai relawan bencana pada tahun 1990-an.
Pengalaman mengevakuasi korban bencana alam, mulai dari banjir hingga tanah longsor. Baik bencana alam di wilayah Jawa Tengah maupun luar Pulau Jawa.
Bantuan yang diberikan sudah tidak mengenal daerah lagi karena sudah berkeliling dunia ke berbagai daerah di tanah air untuk membantu penyelamatan korban bencana alam.
Meski bukan warga Demak, pria kelahiran Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus ini masih aktif membantu evakuasi warga Demak, khususnya warga Desa Karanganyar dan Desa Ketanjung yang dilanda banjir besar.
Bahkan, Nur Cholis turut membantu mengevakuasi warga terdampak banjir sejak air banjir pertama kali muncul pada Kamis (8/2) pagi.
Ketika dampak jebolnya tanggul kiri Sungai Wulan tidak parah dan ketinggian air masih mencapai 30 sentimeter, ia bersama relawan lainnya rela berkeliling desa menawarkan evakuasi sekaligus memberikan edukasi bahwa dampak banjir akan terjadi. menjadi lebih besar lagi.
Ternyata mayoritas warga enggan mengungsi. Giliran banjir semakin bertambah, menyusul kerusakan tanggul yang semakin lebar dan terjadi di dua titik terjadinya jebol, akhirnya warga berlomba-lomba meminta dievakuasi.
Terkadang ada rasa kesal karena saat diberikan edukasi potensi banjir susulan, warga tak bergeming. Namun kemarahannya ia sembunyikan karena itu adalah pengalamannya setiap kali terjadi bencana alam.
Keengganan masyarakat untuk mengungsi tidak hanya terjadi saat Desa Ketanjung dan Karanganyar dilanda banjir besar. Kasus serupa juga sering terjadi di daerah lain, termasuk daerah bencana tanah longsor.
Kesabaran para relawan pun diuji karena warga yang awalnya enggan dievakuasi -setelah air banjir semakin tinggi – akhirnya mengeluh meminta segera dievakuasi. Para relawan BPBD Kudus dengan sabar menjemput warga satu per satu di rumahnya. Bahkan ada yang terpaksa mengungsi ke lantai dua, namun tetap diminta dievakuasi karena ternyata air banjir semakin tinggi dan listrik juga padam.
Umar Herutama, seorang relawan yang bertugas mengevakuasi korban banjir di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, juga punya cerita unik saat memberikan edukasi kepada warga Desa Ketanjung, Kecamatan Karanganyar. Saat banjir belum besar, dia meminta warga bersedia dievakuasi, namun mereka tak bergeming.
Ajakan ini didasarkan pada prediksi bahwa banjir akan semakin besar karena debit air Sungai Wulan saat itu begitu besar, sedangkan tanggul yang jebol dalam waktu dekat tidak mungkin tertangani sehingga potensi jebolnya semakin besar.
Di tengah ancaman banjir besar, ia berkeliling desa bersama relawan lainnya sambil menarik perahu karet tanpa mesin. Namun saat hendak kembali ke posko, ternyata banjir semakin besar dan arusnya cukup deras.
Karena perahu karet hanya mengandalkan dayung, akhirnya Heru dan relawan lainnya harus menunggu untuk dievakuasi oleh relawan lain yang menggunakan perahu karet bermotor.
Seperti cerita Nur Cholis, sikap sebagian warga yang tidak mau diberi pengertian tak membuat Heru putus asa. Ia tetap ingin membantu warga yang terjebak banjir di rumahnya.
Heru dan relawan lainnya tetap semangat membantu mengevakuasi warga yang terjebak di antara air banjir besar dan arus yang sangat deras.
Derasnya aliran air dibuktikan dengan truk tronton yang tertahan di jalan tak bisa diselamatkan. Selain arusnya yang deras, air banjir juga semakin tinggi sehingga sopir dan pembantunya harus mengungsi ke tempat yang aman.
Jangan pernah menyerah
Sikap pantang menyerah para relawan dalam membantu warga terdampak bencana alam sudah terbukti. Salah satunya adalah sikap mereka yang terus mengevakuasi warga yang terjebak banjir.
Bahkan, ada seorang relawan yang kakinya terluka. Selama proses evakuasi, warga tetap antusias terjun ke lokasi banjir tanpa memperdulikan rasa sakit pada kaki kirinya yang cukup lama terluka akibat terbentur baja ringan yang menimpa atap rumah warga.
Nur Cholis memperlihatkan luka di kaki kirinya yang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Namun, orang lain yang melihat sayatan panjang itu sedikit merinding karena hanya diperlakukan apa adanya.
Peristiwa yang dialami Nur Cholis terjadi saat hendak menyapu rumah yang warganya belum dievakuasi. Setelah menemukan enam warga, perahu karet diarahkan mendarat di tengah Jembatan Tanggulangin yang berbatasan dengan Demak dan Kudus.
Saking derasnya aliran air, karena berasal dari titik jebolnya tanggul Sungai Wulan, perahu karet menghantam atap rumah warga hingga tidak terlihat karena terendam air.
Untuk menyelamatkan perahunya agar tidak bocor, kakinya secara refleks mencoba menendang atap baja ringan tersebut.
Namun sayang, kaki kirinya terpotong oleh ujung tajam baja ringan tersebut.
Meski terluka, ia tak kapok membantu mengevakuasi warga. Bahkan, dia siap dikerahkan hingga banjir benar-benar surut.
Banjir yang terjadi di Kabupaten Karanganyar mampu menarik perhatian banyak pihak dari berbagai daerah. Ada ribuan relawan yang membantu mengevakuasi warga, tidak hanya dari Kabupaten Kudus tapi juga dari Jepara, Pati, Rembang, Magelang dan beberapa daerah lainnya.
Selain bertugas melakukan penyelamatan, ada juga relawan yang bekerja di dapur umum untuk menyuplai kebutuhan pangan sehari-hari para penyintas yang saat itu memiliki lima titik pengungsian di Kabupaten Kudus.
Titik pengungsian berada di Jembatan Tanggulangin, Terminal Induk Jati Kudus, Kantor Koramil Jati, Balai Desa Jati Wetan, dan DPRD Kudus.
Peran relawan di dapur umum tidak bisa dianggap remeh karena mereka bertugas menyiapkan makanan untuk pengungsi dan relawan yang bertugas mengevakuasi korban banjir.
Yoga Prasetya Utama adalah satu dari ratusan relawan yang bekerja di dapur umum di Jembatan Tanggulangin.
Pemuda asal Desa Ketileng, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara ini bertugas membantu memasak dan memenuhi kebutuhan lainnya di dapur sejak Kabupaten Karanganyar dilanda banjir pada Kamis (8/2).
Relawan PMI Jepara dan empat rekannya asal Jepara itu ditemani 30 relawan lainnya dari berbagai daerah di Jawa Tengah sejak Kamis (8/2) malam.
Meski dituntut kerja keras untuk membantu menyediakan 3.000 bungkus beras setiap harinya, ia mengaku mampu melakukannya. menikmati dan tidak ada penyesalan meskipun aku bekerja tanpa imbalan sama sekali.
Ia justru merasa bangga bisa membantu meringankan warga yang kesusahan akibat banjir dan tidak tahu kapan bisa pulang.
Faktanya, para relawan ini tidak seperti pengungsi yang dibekali kasur dan selimut busa serta tenda yang tertutup rapat sehingga tidak merasakan dinginnya udara di malam hari. Para relawan tidur di tenda-tenda tempat mereka menyimpan berbagai logistik untuk memasak dan bahan pengemas makanan jika sudah matang.
Meski bosan tidur di tempat itu, ia terpaksa pindah ke tempat ibadah yang berjarak sekitar 300 meter dari tenda dapur umum.
Etos kerja tinggi juga ditunjukkan Maftukin dengan dipercaya sebagai koordinator lapangan dapur umum Jembatan Tanggulangin. Selain bertugas sebagai juru masak, ia juga memerintahkan segala hal yang perlu dipersiapkan agar setiap harinya bisa menyiapkan 3.000 bungkus beras untuk dibagikan kepada pengungsi pada pagi, siang, dan malam hari.
Panasnya sinar matahari dan panasnya api kompor menjadi “makanan” kesehariannya. Bahkan terkadang harus merasa kedinginan karena hujan dan tetap harus menyiapkan makanan untuk para pengungsi dan relawan.
Untuk mempercepat penyediaan pangan setiap harinya, sekitar 30 relawan khusus dikerahkan untuk bertugas di dapur umum. Belum termasuk relawan yang bekerja di dapur umum Terminal Utama Jati Kudus.
Karena ada sekitar 4.000 warga Demak yang mengungsi ke Kabupaten Kudus, maka kedua dapur umum tersebut bertugas memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari para pengungsi.
Meski harus meninggalkan istri dan anak, Maftukin yang tergabung dalam Taruna Siaga Bencana (Tagana) tetap ceria menyiapkan makanan untuk para pengungsi. Bahkan, ia siap bekerja hingga banjir di Kabupaten Karanganyar benar-benar surut
Baginya, menjadi sukarelawan merupakan panggilan kemanusiaan yang membanggakan karena ia bisa membantu orang lain tanpa menuntut imbalan apa pun.
Redaktur: Achmad Zaenal M
Hak Cipta © ANTARA 2024