NEWS

Berita Trending Terupdate

UmumUnik

Komitmen Pemerintah atasi polusi udara Jakarta

Riset menunjukkan peningkatan polutan berkaitan dengan tingkat intelegensi dan intelektual lebih rendah pada anak-anak di bawah usia 2 tahun maupun usia sekolah.

Jakarta (ANTARA) – Polusi udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini. Langit abu-abu menjadi pemandangan sehari-hari ditambah terik sinar Matahari, seolah menjadi peristiwa yang biasa saja.Imbasnya, masyarakat seolah menjadi terbiasa dengan ancaman udara yang jauh dari kata sehat dari ambang batas yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Berbagai penyakit mengintai masyarakat akibat kondisi udara yang buruk itu.

Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada Senin (23/10) pagi pukul 06.30 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada pada angka 183 atau masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2,5 dan nilai konsentrasi 117,9 mikrogram per meter kubik.

Situs pemantau kualitas udara dengan waktu terkini tersebut pun mencatatkan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia.

Adapun Kota dengan kualitas udara terburuk urutan pertama yaitu Delhi, India yang berada di angka 255, urutan kedua Lahore, Pakistan di angka 220, urutan keempat Mumbai, India di angka 169, dan urutan kelima Dhaka, Bangladesh di angka 163.

Jakarta dalam beberapa bulan terakhir tidak keluar dari posisi 10 besar kualitas udara terburuk di dunia. Begitupun wilayah penyangga Ibu Kota, seperti Bogor, Depok, dan Tangerang, (Bodetabek) yang juga tidak lepas dari indikator buruk dalam kualitas udara.

Kenny Bima Yoga (33), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tidak heran dengan kondisi polusi udara yang buruk di Jakarta. Semenjak darurat pandemi COVID-19 dinyatakan berakhir, kondisi jalanan di Jakarta sudah kembali penuh dengan kendaraan yang membuat paparan polusi melonjak tinggi. Apalagi ia sehari-hari mengendarai sepeda motor untuk berkantor di Jakarta Pusat. Perjalanannya itulah yang membuat dia terbiasa dengan kepulan asap yang dihirup di jalan.

Saking terbiasanya, Yoga merasa tidak perlu menggunakan masker sebagai alat pelindung. Bukan tidak sadar, melainkan terbiasa dengan ancaman polusi udara.

Yoga mengetahui kondisi udara di Jakarta kian memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Cuaca panas dan kemarau berkepanjangan memengaruhi polusi di jalanan yang setiap hari dia terima.

Meski sejauh ini polusi belum memengaruhi kesehatannya secara signifikan, dia mengaku intensitas batuk-batuk saat ini menjadi lebih sering dalam beberapa bulan terakhir.

“Kalau sejauh ini kesehatan masih baik-baik aja, cuma ya, memang sering batuk tapi karena mungkin emang sehari-sehari di jalan. Cukup minum obat saja, enggak pernah periksa, sih,” ujar Yoga.

Berbeda hal dengan Eman Bara Mahesa (27), pegawai swasta yang bekerja di Jakarta Pusat, namun tinggal di daerah Citayam, Depok, yang konsisten menggunakan masker sejak pandemi COVID-19. Eman mengaku tidak lepas dari maskernya saat beraktivitas di luar rumah, apalagi ia menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line untuk menjangkau lokasi kerja.

“Dari semenjak COVID-19 saya pakai masker terus, soalnya kalau enggak pakai masker di kereta takut kena penyakit, ditambah lagi saya ada balita di rumah jadinya khawatir,'” ucap dia.

Namun demikian, saat ini ia mengalami gejala batuk berdahak, pilek, mual, hingga demam dan lemas. Padahal, penyakit seperti ini tak pernah dirasakan dalam kurun 4 empat tahun tahun terakhir. Meski pada saat pandemi ia sempat terpapar, gejala yang dirasakan hanyalah demam.

Saat memeriksakan ke dokter, Eman terindikasi mengidap infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Meski dalam kesehariannya dia mengenakan masker, dokter mengatakan bahwa salah satu faktornya merupakan cuaca panas dan mutu udara yang tidak baik. Hal itu juga dialami sang istri yang mengalami gejala sama dengan Eman.

Dengan banyaknya aktivitas luar ruangan, Livia Kristianti (27) yang berprofesi wartawan, mengalami batuk dan pilek berkepanjangan. Gejala yang dirasakan mengarah pada indikasi ISPA berdasarkan obat-obat yang diberikan oleh dokter. Awalnya dia mengira sakitnya hanyalah batuk biasa karena fisik yang kelelahan, namun setelah berjalan satu pekan, batuknya kian tak mereda yang membuat dirinya memeriksakan diri ke dokter.

Lagi-lagi sama. Dokter menyebutkan udara yang tak sehat hingga kondisi fisik yang tak prima membuat Livia mengalami ISPA. “Napas memang jadi lebih susah. Ini memang memang faktornya karena udara jelek dan badan yang tak prima,” ujarnya.

Chintya Gessinovita (31) warga Depok yang memiliki anak usia 4 tahun juga merasakan hal sama. Buruknya kualitas udara ditambah kemarau yang berkepanjangan membuat anaknya mengidap ISPA, bahkan harus mendapatkan terapi uap untuk meredakan ISPA.

Cuaca panas, polusi, dan kekurangan cairan menjadi faktor utama infeksi tersebut. Sebab, satu keluarga di rumahnya tidak ada yang mengalami gangguan ISPA.

Selain diberikan obat-obatan untuk meredakan batuk dan pilek, dokter juga menyarankan kepada ibu untuk mencukupi asupan air minum kepada sang anak. Asupan air dapat membantu proses penyembuhan ISPA, baik untuk anak maupun dewasa.

Setelah lepas dari COVID-19, tahun ini warga Jakarta dan sekitarnya mendapatkan tantangan baru, yakni ISPA dari ancaman polusi udara. Hal itu semakin pelik dengan kemarau yang memperparah kadar polutan, tidak terkontrolnya emisi dari kendaraan dan industri, hingga polemik pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Ancaman ISPA

Foto udara di Jakarta. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww/aa.

Kasus ISPA dilaporkan kembali meningkat pada beberapa bulan terakhir di wilayah Jabodetabek. Sebagian besar kasus yang ditemukan terjadi pada usia produktif. Upaya perlindungan dan pencegahan risiko ISPA harus diperkuat mengingat polusi udara belum juga terkendali.

Untuk Jakarta saja, Dinas Kesehatan DKI mencatat sekitar 100 ribu warga di Ibu Kota terkena ISPA setiap bulan akibat peralihan cuaca. Selama semester satu 2023 terdapat 638.291 kasus ISPA yang tercatat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Namun, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengungkapkan kasus penyakit akibat polusi udara di Ibu Kota belum termasuk kategori darurat karena tren kasusnya tidak naik drastis, melainkan naik-turun secara fluktuatif.

Di sisi lain, sebagai upaya mitigasi, Dinkes DKI sudah memiliki sistem pelaporan pemantauan penyakit menular yang berpotensi menjadi wabah maupun penyakit tidak menular.

Sistem yang membantu pemantauan dan mengetahui tren kasus penyakit menular ini bisa menjadi sistem peringatan dini (early warning system) sehingga Dinkes DKI bisa mempersiapkan langkah antisipasi dan pencegahan.

Sebagai upaya mengendalikan dan mengantisipasi penyakit akibat kualitas udara tidak sehat, Dinkes DKI menerapkan langkah preventif promotif (promosi pencegahan). Salah satunya memberikan edukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada masyarakat di berbagai tatanan, seperti sekolah, lingkungan permukiman, dan tempat kerja.

PHBS yang dimaksud seperti tidak merokok, melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, cuci tangan dengan sabun, dan pengelolaan stres.

Selain itu, menerapkan re-use, reduce  dan recycle, tidak membakar sampah serta imbauan pemakaian masker pada kelompok rentan dan kondisi kesehatan khusus. Dinkes DKI juga mengajak masyarakat yang dalam keadaan tidak sehat agar tidak beraktivitas di luar rumah.

Selain itu, Dinkes DKI telah mengingatkan orang tua segera mengimunisasi anak untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam menghadapi polusi udara di Ibu Kota.

Imunisasi menjadi salah satu upaya penting untuk mencegah dampak polusi udara pada kelompok rentan, seperti bayi dan balita. Selain itu, imunisasi juga menjadi salah satu upaya untuk mencegah anak dari ISPA dan radang paru-paru (pneumonia) akibat kualitas udara yang kurang baik.

Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Feni Fitriani, Sp.P(K) mengingatkan bahaya yang dapat terjadi pada anak akibat kualitas udara khususnya di Jakarta yang sedang buruk.

Untuk anak-anak, kondisi polusi udara yang seperti ini biasanya akan meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berulang. Tak hanya itu, dokter yang berpraktik di RSUP Persahabatan itu mengingatkan bahwa kualitas udara yang buruk juga meningkatkan risiko terkena asma di kemudian hari, batuk pilek, hingga bisa berisiko mengganggu pertumbuhan paru-paru pada anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *