NEWS

Istana: Kebijakan cuti menteri pagari atribusi hingga kebijakan publik

Istana: Kebijakan cuti menteri pagari atribusi hingga kebijakan publik

Pejabat seperti itu diberi kebebasan berkampanye, ikut berkampanye, tapi dalam kampanyenya ada pagarnya, ada koridornya yakni berangkatJakarta (ANTARA) – Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyinggung kebijakan cuti menteri dan kepala daerah saat kampanye Pemilihan Umum (Pemilu). Tahun 2024 dikeluarkan untuk “memagari” atribusi kebijakan publik dari pejabat negara.Pejabat seperti itu diberi kebebasan berkampanye, ikut berkampanye, tapi dalam kampanyenya ada pagarnya, ada koridornya, yaitu cuti, kata Ari Dwipayana saat ditemui di Gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Senin. .

Ia mengatakan, pelayanan publik di Indonesia harus terus berjalan hingga seluruh masyarakat bisa terlayani dan tidak ada perbedaan latar belakang politik.

Menurut Ari, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 yang mengatur cuti menteri dan kepala daerah pada masa kampanye pemilu 2024 bertujuan untuk memastikan pengambilan keputusan dalam proses pelayanan publik tidak bisa memihak.

Baca juga: Wapres Sebut Izin Cuti Kampanye Para Menteri Dievaluasi untuk Ukur Kinerja

Baca juga: KPU: Kalau Presiden Berkampanye, Dia Sendiri Ajukan Cuti

Dalam memperoleh hak cuti, kata Ari, seluruh atribut sebagai pejabat negara tidak bisa digunakan, termasuk penggunaan fasilitas negara.

“Saat itu cuti tidak diberikan, termasuk saat mengambil keputusan. Pengambilan keputusan juga tidak boleh memihak karena ini terkait dengan koridor dalam pemerintahan kita yang prinsipnya harus kita pegang teguh,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketentuan tersebut juga sejalan dengan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Kita harus melihat konteks pasal ini, dalam melaksanakan kebijakan, mengambil keputusan, bahkan yang berkaitan dengan pelayanan publik, kita tidak boleh memihak,” ujarnya.

Menurut Ari, pasal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. “Karena dalam konstruksi yang lebih luas, pejabat negara lebih banyak berasal dari partai politik atau pejabat negara yang kemudian terlibat dalam proses kampanye karena tergabung dalam tim kampanye,” ujarnya.

Alinea pertama Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional pada jabatan negara serta pegawai negeri sipil lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang menimbulkan bias terhadap peserta pemilu sebelum, pada saat, dan setelah pemilu. masa kampanye.

Pada ayat kedua pasal tersebut disebutkan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, undangan, imbauan, imbauan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara di lingkungan satuan kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Wartawan : Andi Firdaus
Editor: Chandra Hamdani Noor
Hak Cipta © ANTARA 2024

Exit mobile version