Ilmuwan mengungkap faktor tersembunyi mengapa suhu tahun 2023 begitu panas
Holger Voemel, ilmuwan senior di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional AS (NCAR), percaya bahwa letusan gunung berapi dapat mempengaruhi pemanasan global, meskipun keputusan pasti mengenai hal ini belum ditentukan.
Letusan yang meredam sinar matahari telah terjadi sekitar dua kali dalam satu abad dalam 2.500 tahun terakhir. Terakhir kali hal ini terjadi terjadi di Pinatubo, kata Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB.
Pinatubo memangkas suhu rata-rata global sekitar 0,5 derajat Celcius selama lebih dari setahun dengan meredupkan sinar matahari.
Dalam 2.500 tahun terakhir, telah terjadi delapan letusan yang sangat besar, kata IPCC. Diantaranya, Tambora di Indonesia pada tahun 1815 menyebabkan “tahun tanpa musim panas” yang mengakibatkan gagal panen dari Perancis hingga Amerika Serikat.
Baca juga: Akademisi: Perubahan Iklim Ciptakan Kerentanan Ekosistem Pesisir
Yang lebih parah lagi adalah letusan Samalas di Indonesia sekitar tahun 1257 yang menyebabkan kelaparan dan kemungkinan mengawali Zaman Es Kecil, yaitu masa cuaca dingin luar biasa yang berlangsung hingga abad ke-19.
Besar kecilnya letusan purba itu dinilai dari belerang yang ditemukan terperangkap dalam es di Greenland dan Antartika.
Banyaknya letusan besar berabad-abad lalu yang mengeluarkan air, seperti gunung berapi Tonga, masih menjadi misteri karena tidak bisa dilihat di dalam es.
Sebelum meletus, Hunga Tonga-Hunga Ha’apai berada sekitar 150 meter di bawah permukaan laut.
Tidak jelas berapa banyak gunung berapi yang berada di perairan yang cukup dangkal untuk mengeluarkan material ke atmosfer jika meletus.
Baca juga: Tragedi Hawaii dan Sikapnya Terhadap Pemanasan Global
Sumber: Reuters
Penerjemah: M Razi Rahman
Redaktur: Jafar M Sidik
HAK CIPTA © ANTARA 2023