Ekonom: Risiko inflasi beras di masa depan masih relatif tinggi
Jakarta (ANTARA) – Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai risiko inflasi beras ke depan masih tergolong tinggi karena harga pupuk yang masih bertahan dan risiko fenomena El Nino.Ke depan, risiko inflasi dari beras relatif tinggi, mengingat harga pupuk belum turun, begitu pula risiko El Nino, kata Josua di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras eceran naik 1,43 persen secara bulanan (mtm) pada Agustus 2023, sedangkan secara tahunan meningkat 13,76 persen (yoy).
Beras menjadi komoditas penyumbang inflasi paling besar pada Agustus 2023 yakni sebesar 0,05 persen. Laju inflasi tahunan Indonesia pada bulan Agustus tercatat sebesar 3,27 persen (yoy). Inflasi beras meningkat pada bulan Agustus setelah merosot pada bulan Mei, Juni dan Juli.
Baca juga: Ekonom memperkirakan inflasi Indonesia akan berkisar 3 persen pada tahun 2023
Josua mengatakan, kenaikan beras tidak hanya terjadi pada tahun 2023 saja, melainkan cenderung meningkat sejak Agustus 2022. Kenaikan harga beras salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga pupuk global sehingga biaya produksi dari sektor pertanian meningkat.
Harga pupuk global memang mengalami kenaikan sejak perang Rusia-Ukraina pada awal tahun 2022, namun dampaknya baru terasa pada musim panen Agustus 2022.
Seiring berlanjutnya perang, harga pupuk tidak kunjung turun sehingga menyebabkan biaya produksi relatif tinggi. Untuk menyikapi hal tersebut, Josua menilai pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap subsidi pupuk guna meminimalisir biaya input dari pertanian.
Selain itu, pemerintah juga perlu menambah kuota impor beras guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Untuk intervensi dari sisi konsumen, pemerintah perlu rutin melakukan operasi pasar dan mendorong daerah untuk menyediakan tempat penyimpanan di tempat-tempat strategis untuk menjamin distribusi yang aman,” kata Josua.