NEWS

Berita Trending Terupdate

KasusotomotifUmumUnik

Ahmadiyah dan Pusaran Hoax di Tahun Politik 2024

Salah satu contoh labeling yang tersebar di media sosial adalah dukungan Ganjar Pranowo terhadap Ahmadiyah. Di media sosial Twitter misalnya, ditemukan narasi Ganjar mendukung aliran sesat karena tak ingin membubarkan Ahmadiyah di Jawa Tengah saat menjabat gubernur.

Pada tahun 2013, Ganjar mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah tidak perlu dibubarkan tetapi harus dibina. Sikap tersebut dijadikan label bahwa Ganjar adalah pendukung Ahmadiyah dan haram untuk dipilih.

Hoax seringkali mengandung unsur-unsur yang mendiskreditkan kelompok minoritas. Informasi palsu yang menyebarkan prasangka dan kebencian terhadap kelompok minoritas dapat berujung pada tindakan diskriminatif dan kejahatan berdasarkan ras atau agama.

Hurriyah menjelaskan, dalam suatu tahun pemilu, para pelaku pemilu kerap menggunakan hoaks untuk menciptakan ketakutan atau Fear Mongering terhadap kelompok minoritas. Hoax seringkali menggambarkan kelompok minoritas dalam proyeksi yang negatif atau mengancam.

“Ketika pelaku pemilu menggunakan strategi Fear Mongering, sangat mudah untuk melengkapi informasinya dengan informasi palsu. Jadi tujuannya untuk menciptakan ketakutan, maka terciptalah kebohongan,” kata Hurriyah.

Hurriyah menambahkan, dalam situasi konflik, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling terkena dampak. Artinya, dampak hoax berupa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat berdampak pada perempuan dan anak pada kelompok minoritas.

“Dalam situasi konflik, di mana pun, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Kelompok agama minoritas merupakan kelompok rentan. Perempuan dan anak-anak dari agama minoritas jauh lebih rentan. “Karena merekalah yang pertama kali menjadi korban konflik,” jelas Hurriyah.

Halili dan Hurriyah sepakat masih ada potensi politisasi identitas digunakan pada pemilu 2024. Kondisi ini akan lebih mungkin terjadi pada pemilu putaran kedua dan pilkada. Pada tahap itu, polarisasi bisa menjadi lebih tajam.

Hurriyah mengatakan, hoaks juga bisa semakin masif ketika masing-masing calon berebut pemilih yang belum menentukan pilihan atau belum menentukan pilihan. Salah satu cara untuk memperjuangkan pemungutan suara ini adalah dengan mempermainkan emosi.

“Ketika yang dilombakan adalah masyarakat yang belum menentukan pilihan (undecided voter), maka yang dianggap paling efektif untuk mempengaruhi perubahan preferensi suaranya secara cepat adalah ketika menyentuh emosi,” kata Hurriyah. Makanya politik identitas yang juga dibalut hoaks lebih besar peluangnya untuk dimainkan, imbuhnya.

Potensi meningkatnya hoaks bisa saja terjadi pada pilkada mendatang. Halili Hasan mengatakan, pilkada menjadi ajang maraknya isu politisasi identitas.

“Pilkada DKI 2017 sebenarnya merupakan politisasi identitas yang paling kuat. Ada pula beberapa fenomena politisasi identitas pada Pilkada Serentak. Ini terjadi di Jawa Barat dan Sumut,” kata Halili.

Pilkada lebih bersifat lokal, dengan fokus pada isu-isu yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat setempat. Memasukkan identitas etnis, agama, atau budaya dapat menjadi strategi untuk mendapatkan dukungan kuat di tingkat lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *