Buah manis perjuangan petani Perhutanan Sosial melawan transisi
Jakarta (ANTARA) – Suara Munika terdengar ceria saat menjawab telepon pagi itu. Pria berusia 50 tahun ini tertawa sambil bercanda dengan beberapa orang di belakangnya yang ikut bernyanyi mengikuti irama pemutar kaset di aula Desa Cahaya Alam, Semendo, Muara Enim, Sumatera Selatan.“Hahaha…di lumbung kita menabung, kalau kelaparan datang kita jangan bingung…masa panen saatnya berpesta, itulah harapan kita semua… Desa harus menjadi ekonomi memaksa agar penduduknya tidak pindah ke kota…”.
Demikianlah beberapa lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Desa” yang dinyanyikan oleh Pak Munik, selaku Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Luang Daguk, Desa Cahaya Alam.
Benar saja, petani berambut gondrong itu mengaku bersama seluruh petani kopi yang tergabung dalam KUPS Luang Daguk senang merayakan panen raya.
Musim panen kopi tahun ini yang jatuh pada bulan September-Oktober dan baru selesai seminggu yang lalu, merupakan hal yang tidak biasa bagi mereka karena memerlukan perjuangan dan kesabaran yang besar untuk bisa memetik hasil panen yang maksimal.
Pasalnya, mereka harus menyiram sejauh empat kilometer dari sumber air di desa tersebut untuk memastikan kebun kopi seluas 200 hektare itu lembab dan subur.
Mereka terpaksa melakukan kegiatan tersebut karena saat mulai menanami kebun, mereka dilanda kekeringan ekstrem tanpa hujan sama sekali sejak tiga bulan lalu.
Berkat jerih payah dan upaya para petani yang melintasi perbukitan untuk menyalurkan air guna menjaga kelembapan di kebunnya, mereka mampu menghasilkan panen kopi sebanyak 1,5 ton per hektar.
Hasil panen ini lebih rendah dibandingkan saat cuaca normal yang biasanya mencapai 1,7 ton per hektar, namun penurunan tersebut masih dalam batas wajar mengingat kondisi alam saat itu.
Para petani merasa bersyukur biji kopi Robusta dan Arabika hasil petani tersebut masih laku jauh di atas harga pasar yakni Rp 31 ribu per kilogram. Hasilnya, mereka masih mendapat omzet sekitar Rp45 juta per hektar dari penjualannya.
Kopi para petani dibeli oleh para tengkulak kopi yang datang dari provinsi Lampung dan Jawa Barat, mengaku kekurangan pasokan kopi saat musim kemarau dan bahkan sampai ke Muara Enim.
Pendapatan tersebut memang cukup untuk membiayai kerja keras mereka menghadapi musim pancaroba hingga bisa menghidupi anggota keluarganya masing-masing dengan baik.
Keberhasilan tersebut bermula ketika 50 anggota KUPS Luang Daguk mendapat izin pengelolaan lahan hutan skema Hutan Desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2016 dengan luas 900 hektar.
Sekitar 200 hektar lahan hutan digarap oleh anggota KUPS Luang Daguk untuk ditanami tanaman kopi. Sisa tanaman hortikultura seperti kangkung, cabai, jagung, dan tomat terpaksa ditunda karena kekurangan air.
Sebelum mendapat izin pengelolaan lahan hutan, masyarakat desa hanya mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan yang tidak menentu dengan sistem perladangan berpindah.
Bahkan ada pula yang menjadi pemburu burung kicau yang tinggal di hutan belantara desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Patah dan Bukit Barisan Selatan.
Segala aktivitas kecil masyarakat yang merusak ekosistem hutan akhirnya berhasil dihentikan melalui pendekatan manfaat program Perhutanan Sosial.
Hal ini terbukti dengan 50 anggota KUPS tersebut merupakan generasi terakhir dari kelompok petani yang melakukan perladangan berpindah dari Desa Cahya Alam.
“Sudah tidak ada lagi, perburuan hingga pembakaran lahan yang dimaksud telah menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap kelestarian ekosistem hutan di desa kami. Apalagi yang kami dapatkan saat ini sudah lebih dari cukup,” kata Munika yang juga merupakan seorang pejabat Pemerintah Desa Cahya Alam.
Demi kesejahteraan masyarakat
Munika merupakan satu dari 1,2 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia yang merasakan manfaat sosial dan ekonomi dari program Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto mengatakan, jutaan kepala keluarga masing-masing tergabung dalam 10.075 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
KUPS merupakan kumpulan masyarakat desa atau masyarakat hukum adat yang mendapat izin pengelolaan lahan dalam kawasan hutan melalui program Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada KUPS berupa pengelolaan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Hutan Kemitraan.
Direktorat Perhutanan Sosial Kementerian LHK mencatat hingga Juli 2023, sebanyak 55 persen atau sekitar 5.625.137 hektare dari target 12,7 juta hektar kawasan hutan di Indonesia telah diusahakan secara produktif oleh KUPS.
Tujuan pemberian izin pengelolaan hutan kepada masyarakat desa atau masyarakat hukum adat adalah untuk kesejahteraan keluarganya dan keberlangsungan upaya pelestarian alam itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan peraturan turunan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Administrasi Kehutanan.