Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia dipecah menjadi empat fase yang menggambarkan perjalanan panjang dari awal kedatangan masyarakat Tionghoa hingga pengakuan resminya sebagai hari libur nasional. Melalui petikan buku “Pendidikan Pancasila dan Pluralisme” karya Dr. Rio Christiawan, SH, M.Hum., M.Kn., serta informasi dari buku “Jejak Kebudayaan Tionghoa di Indonesia” karya Christofora K, kita dapat memahami bagaimana perayaan Tahun Baru Imlek telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Indonesia.
1. Awal Kedatangan Tiongkok
Pada tahun 1873, bersamaan dengan eksodus massal, orang Tionghoa dari daratan Tiongkok memulai perjalanannya ke Indonesia. Motivasi utama kedatangan imigran Tionghoa melibatkan berbagai kepentingan, terutama dalam konteks perdagangan. Sejarah mencatat peran penting tokoh agama seperti Fa Hien dan I Ching pada abad ke-4 hingga ke-7, termasuk catatan mengenai hubungan Tionghoa dan kepulauan Indonesia. Prasasti Jawa juga mencatat perkembangan ini, menyebutkan pendatang Tionghoa sebagai orang asing yang menetap berdampingan dengan suku-suku nusantara dan daratan Asia Tenggara.
2. Masa Orde Lama
Fase Orde Lama merupakan tonggak penting dalam sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia. Tahun Baru Imlek secara resmi diakui sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Pemerintah Nomor 2/UM/1946. Meski terjadi perubahan mengenai perayaan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1953 yang mengatur tata cara hari raya, namun perayaan Imlek tetap mendapat pengakuan melekat sebagai bagian integral dari keanekaragaman budaya Indonesia. Periode ini mencerminkan toleransi dan penerimaan terhadap keragaman etnis dan budaya di dalam negeri.
3. Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Soeharto memerintahkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap perayaan budaya Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek. Inpres tersebut mengamanatkan perayaan seperti Tahun Baru Imlek hanya boleh dirayakan di dalam rumah atau kelenteng, hal ini menunjukkan adanya upaya pengendalian tradisi Tionghoa. Selain itu, tindakan drastis juga dilakukan, seperti penghapusan tiga pilar kebudayaan Tionghoa, sekolah menengah Tionghoa, dan organisasi etnis Tionghoa.
4. Jaman Gus Dur
Perubahan signifikan terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 sehingga memberikan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Tahun Baru Imlek dengan lebih terbuka. Gus Dur juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif sehingga memberikan ruang perayaan yang meriah dan terbuka. Keputusan ini mencerminkan semangat reformasi yang mengedepankan prinsip hidup berdampingan secara etis dan menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif yang ada pada masa Orde Baru.