…berbagai keluhan petani terkait melonjaknya harga produksi pertanian seperti pupuk, bahan bakar, persaingan pangan impor, serta berbagai regulasi dari birokrat… Jakarta (ANTARA) – Eropa pada pertengahan Januari hingga awal Februari Tahun 2024 diguncang oleh berbagai demonstrasi selera yang dimotori oleh para petani di berbagai negara di benua biru.Para petani dan petani di berbagai negara Eropa melakukan aksi protes, apalagi karena terbebani oleh berbagai hal, mulai dari biaya utang operasional dalam bertani, tekanan dari berbagai perusahaan multinasional besar terkait sektor pertanian, dampak cuaca ekstrim, hingga beratnya biaya pertanian. masuknya impor pangan selama bertahun-tahun.
Media Jerman, DW, melaporkan bahwa para petani di negaranya berdemonstrasi menentang pemotongan subsidi bahan bakar untuk pertanian. Demonstrasi yang dilakukan petani membawa ribuan traktor dan truk sehingga mengganggu konektivitas di beberapa kota di sana.
Aksi para petani tersebut tidak hanya terjadi di Jerman, namun menyebar ke berbagai negara lain di Eropa seperti Polandia, Belgia, Romania, Portugal, Spanyol, dan Perancis. Para petani di negara-negara tersebut telah menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap dampak reformasi kebijakan lingkungan dan beban biaya yang tinggi.
Sementara di Belanda, aksi serupa juga terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pergerakan di Negeri Kincir Angin bahkan melahirkan partai politik yang berhaluan kerakyatan terhadap keinginan kaum tani, yakni partai Gerakan Warga Tani (BBB).
Partai BBB pada pemilu legislatif terakhir yang digelar pada 22 November 2023 berhasil meraih tujuh kursi, dari 150 kursi yang diperebutkan di Tweede Kamer der Staten-Generaal atau DPR Belanda.
Menurut media Amerika Serikat, Politico, berbagai aksi demonstrasi dengan berbagai tuntutan di berbagai negara sebenarnya memiliki kesamaan, yakni keberatan terhadap menurunnya kesejahteraan petani.
Analisis yang dilakukan oleh Politico menunjukkan bagaimana margin keuntungan petani terkikis oleh ketidakstabilan harga, tidak hanya pada harga produk mereka, namun juga pada biaya produksi pertanian.
Di 11 negara Uni Eropa yang dianalisis, ditemukan bahwa harga yang dibayarkan kepada petani turun lebih dari 10 persen dari tahun 2022 hingga 2023.
Dari berbagai negara tersebut, ternyata hanya Yunani dan Siprus yang mengalami peningkatan pendapatan penjualan dari petani, yang terbantu oleh lonjakan permintaan komoditas minyak zaitun.
Mengancam bisnis petani
Dapat disimpulkan bahwa berbagai keluhan yang disampaikan petani terkait dengan melonjaknya harga produksi pertanian seperti pupuk dan bahan bakar hingga persaingan pangan impor serta berbagai peraturan dari birokrat yang mengancam usahanya.
Sejumlah implementasi konsep regulasi yang dikeluarkan Uni Eropa, seperti program Green Deal dan Farm to Fork, meski terlihat bagus karena ingin mendorong produksi pangan ramah lingkungan sekaligus mengurangi emisi karbon, namun dalam implementasinya dapat meningkatkan risiko polusi. petani akan gulung tikar.
Media Spanyol, El Pais, memperingatkan ketidakpuasan petani bisa berdampak besar pada pemilu parlemen Eropa Juni mendatang.
Menurut El Pais, di berbagai negara di Eropa, gerakan atau partai politik yang terkait dengan sektor pertanian terdiri dari berbagai spektrum politik.
Namun saat ini para petani pada umumnya, termasuk mereka yang skeptis terhadap Uni Eropa, cenderung bergabung dengan gerakan populis sayap kanan.
Sejumlah politisi sayap kanan, seperti Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini, memuji para petani yang berani menentang elit Uni Eropa yang berbasis di Brussels.
“Komisi Eropa menarik usulan legislatifnya mengenai pestisida. “Hidup para petani, yang traktornya memaksa Eropa untuk berpaling dari kegilaan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan sayap kiri!,” tulis Salvini di media sosial.
Mereda
Pada pertengahan bulan Februari, demonstrasi petani secara bertahap mulai mereda, seperti di Perancis setelah Perdana Menteri Gabriel Attal berjanji kepada para petani bahwa partainya akan mendukung peraturan yang mendukung swasembada pangan dan akan memperketat arus impor.
Attal berjanji pemerintah Prancis akan berhenti menerapkan peraturan ketat yang membebani petani.
Tidak hanya di sejumlah pemerintahan sendiri di beberapa negara Eropa, bahkan Uni Eropa sendiri juga mulai membenahi kebijakan yang akan diambilnya.
Misalnya, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Selasa (7/2) menyatakan partainya akan mencabut rancangan undang-undang pengurangan penggunaan pestisida di Uni Eropa di tengah protes para petani Eropa.
Menurut von der Leyen, usulan Komisi Eropa mengenai Regulasi Penggunaan Produk Perlindungan Tanaman Berkelanjutan yang mempunyai tujuan baik untuk mengurangi risiko produk yang dihasilkan oleh pabrik kimia, kini menjadi simbol polarisasi sehingga usulan tersebut perlu dilakukan. ditarik.
Namun, von der Leyen meyakinkan bahwa topik pelarangan pengurangan penggunaan pestisida akan tetap dibahas di masa depan, namun ke depan memerlukan lebih banyak dialog dan pendekatan yang berbeda.
Langkah ini merupakan langkah bijak karena berbagai kebijakan sektor pertanian tentunya harus melibatkan erat berbagai pemangku kepentingan terkait, khususnya petani.
Hal ini agar berbagai langkah yang sebenarnya baik untuk mengatasi dampak krisis iklim yang semakin parah dari tahun ke tahun juga dapat diterima dengan baik oleh berbagai kalangan.
Apalagi, rencana Uni Eropa untuk mengatasi dampak perubahan iklim saat ini menyentuh sektor sensitif yaitu pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja.
Untuk itu perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dan seimbang dalam melihat manfaat dan kerugian dari berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Dukungan publik
Uni Eropa juga fokus membangun industri dengan “teknologi bersih”, namun mereka juga menyadari bahwa mereka memerlukan dukungan dari masyarakat.
Dukungan dari masyarakat penting untuk mencapai sejumlah tujuan, seperti memastikan negara-negara di Uni Eropa dapat mempertahankan target iklim tahun 2030, serta mencapai emisi net-zero pada tahun 2050.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan umat manusia kini terancam serius akibat dampak perubahan iklim.
Sebuah studi yang dilakukan oleh kelompok ilmuwan internasional di World Weather Attribution menyatakan bahwa perubahan iklim adalah penyebab utama rekor kekeringan di hutan hujan Amazon yang menyebabkan sejumlah sungai mengering, membunuh spesies terancam dan membahayakan kelangsungan hidup jutaan orang. di wilayah tersebut.
Padahal, melindungi Amazon sebagai kawasan hutan hujan terluas di dunia sangat penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim karena banyaknya pepohonan yang tersebar luas di Amazon sangat penting dalam penyerapan gas rumah kaca.
Di negara tetangga Brazil, Chile, baru-baru ini terjadi kebakaran hutan yang meluas dan mengakibatkan sedikitnya 131 orang meninggal dunia. Menurut para ilmuwan, kebakaran hutan besar-besaran terjadi karena suhu yang memanas.
Selain itu, meluasnya api juga disebabkan oleh angin akibat gelombang panas akibat perubahan iklim dan dampak fenomena El Nino, serta kekeringan yang sering melanda Chile selama satu dekade terakhir.
Bahkan di Australia, pada Januari 2024 juga tercatat terjadi hujan lebat yang memicu banjir bandang di negara bagian Queensland.
Oleh karena itu, kita harus menyadari pentingnya mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, akan lebih baik jika pembahasannya melibatkan berbagai pihak terkait, tidak hanya dilakukan oleh elite di tempat mewah hanya dengan menggunakan sudut pandang marga atau kelompok tertentu.
Hak Cipta © ANTARA 2024