Terpilihnya anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955 menandai babak baru dinamika politik Indonesia pasca kemerdekaan. Hasil pemilu ini menunjukkan komposisi yang mencerminkan keberagaman pandangan politik masyarakat Indonesia saat itu.
Partai Nasional Indonesia (PNI) tetap menjadi kekuatan utama dengan meraih 23,97% suara dan 119 kursi, sedangkan Masyumi bertahan di posisi kedua dengan 20,59% suara dan 112 kursi. PKI pun terus menunjukkan keperkasaannya dengan meraih 16,47% suara dan 80 kursi.
Dengan total 514 kursi yang diperebutkan, pemilu kali ini memberikan gambaran kontribusi berbagai partai politik dalam pembentukan Dewan Konstituante. Meskipun ada kendala seperti tingginya tingkat buta huruf dan kesulitan dalam menemukan personel terampil untuk bertugas di panitia pemungutan suara, partisipasi pemilih tetap tinggi, melibatkan lebih dari 39 juta orang.
Struktur organisasi Majelis Konstituante mencerminkan keterwakilan berbagai partai dan kelompok politik. Struktur organisasi menunjukkan keberagaman dan inklusivitas dalam pembentukan kebijakan. Berikut struktur organisasi Majelis Konstituante.
Ketua: Wilopo (Partai Nasional Indonesia) Wakil Ketua: Prawoto Mankusasmito (Partai Masyumi) Wakil Ketua: Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia/Parkindo) Wakil Ketua: Fathurrahman Kafrawi (NU) Wakil Ketua: Sakirman (PKI) Wakil Ketua: Ratu Aminah Hidayat (IPKI)
Dengan adanya tiga blok utama yaitu Blok Pancasila, Blok Islam, dan Blok Sosial Ekonomi, Dewan Konstituante mencerminkan keberagaman pandangan politik dan kepentingan masyarakat Indonesia. Blok Pancasila yang memperoleh 53,3% kursi menunjukkan dukungan besar terhadap ideologi dasar negara. Blok Islam dengan 44,8% kursi memberikan keterwakilan penting bagi kelompok berbasis agama, sedangkan Blok Sosial Ekonomi dengan 2% kursi mencerminkan keterwakilan kepentingan sosial ekonomi.
Meskipun Majelis Konstituante pada akhirnya gagal mengesahkan Konstitusi baru, namun struktur organisasinya memberikan gambaran tentang semangat kolaborasi dan dialog antar perwakilan berbagai partai politik. Dengan demikian, pemilihan dan susunan Dewan Konstituante pada tahun 1955 mencerminkan langkah awal proses demokratisasi Indonesia saat itu, meskipun penuh tantangan dan kompleksitas.