Penyelenggaraan pemilu tahun 1971 diwarnai oleh kebijakan Presiden Soeharto yang menggantikan Sukarno. Meskipun TAP MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan pemilu pada tahun 1968, namun pemilu baru bisa dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971. Saat itu, ketentuan netralitas penyelenggara negara menjadi signifikan, meski dalam praktiknya pemerintah cenderung mendukung Golkar.
Dalam pembagian kursi, pemilu 1971 menganut sistem yang berbeda dengan pemilu 1955. Pembagian kursi dilakukan dalam tiga tahap, tergantung apakah partai melakukan kesepakatan stembus atau tidak. Lemahnya sistem ini menyebabkan perbedaan hasil perolehan suara secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai.
Hasil Pemilu 1971
Suaranya menggelegar dalam perhitungan pemilu 1971, Golkar tampil sebagai pemimpin yang tak terbantahkan dengan perolehan 325 kursi dari total 360 kursi yang diperebutkan. Dominasi ini mencerminkan kekuatan politik yang sangat besar dan menempatkan Golkar sebagai kekuatan utama di kancah politik Indonesia saat itu. Di sisi lain, Partai NU, Parmusi, dan PNI, meski berhasil meraih kursi, nampaknya memiliki perolehan suara yang tidak sebanding dengan kekuatan sebenarnya.
Berikut gambaran hasil Pemilu 1971:
1. Golkar
Suara: 34.348.673
Kursi: 325
2. NU (Nahdlatul Ulama)
Suara: 10.213.650
Kursi: 89
3. Parmusi
Suara: 2.930.746
Kursi: 11
Hasil pemilu tahun 1971 menyoroti dominasi Golkar yang mencolok dengan perolehan suara dan kursi yang luar biasa. Meski NU, Parmusi, dan PNI berhasil meraih kursi, namun terlihat ada ketidaksesuaian antara perolehan suara dan pembagian kursi. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai keadilan dan keterwakilan yang sebenarnya dalam sistem representasi politik yang diterapkan.
Keberhasilan Golkar meraih 325 kursi dari total 360 kursi mencerminkan dominasi politiknya yang mengukuhkan posisinya sebagai top power saat itu. Dalam evaluasi pemilu 1971, muncul pertanyaan kritis: apakah sistem kombinasi seperti pemilu 1955 bisa memberikan hasil yang lebih berimbang? Keberhasilan Golkar juga menyoroti kompleksitas sistem perolehan kursi, sehingga memberikan pemahaman mendalam mengenai dinamika politik pada periode tersebut.