Pelecehan seksual adalah suatu bentuk kekerasan yang melibatkan eksploitasi seksual terhadap individu tanpa persetujuan atau izin mereka. Dalam konteks hukum di Indonesia, istilah “pelecehan seksual” tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun istilah yang sering digunakan adalah “perbuatan cabul” yang dijelaskan dalam Pasal 289 hingga 296 KUHP.
Ratna Batara Munti dalam karyanya tentang kekerasan seksual menjelaskan bahwa perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar norma kesusilaan, seperti mencium, meraba-raba bagian tubuh yang sensitif, atau meraba-raba payudara, yang kesemuanya terjadi dalam konteks hasrat seksual.
Menurut Ratna, tindakan apa pun yang dinilai melanggar norma kesusilaan bisa masuk dalam kategori perbuatan cabul. Namun definisi pelecehan seksual yang lebih luas diberikan oleh Komnas Perempuan, dimana pelecehan seksual mencakup tindakan seksual melalui sentuhan fisik dan non-fisik, termasuk penggunaan peluit, kontak mata yang bernuansa seksual, ucapan yang mengandung muatan seksual. , menampilkan materi pornografi, atau mengungkapkan hasrat seksual. . Tindakan tersebut dapat berupa sentuhan atau pencolek bagian tubuh, gerakan atau gerak tubuh yang bersifat seksual, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan korban merasa tidak nyaman, tersinggung, atau merasa dipermalukan.
Lebih lanjut, Undang-Undang Perlindungan Korban Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengakui pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang dapat terjadi baik secara fisik maupun non fisik.
Hal ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual tidak hanya terbatas pada tindakan nyata yang mengganggu secara fisik, namun juga mencakup perilaku verbal atau non fisik yang dapat merugikan korban secara psikologis dan emosional. Dengan demikian, pengertian pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan yang merusak kesusilaan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan korban secara keseluruhan.
Pelecehan seksual verbal adalah suatu bentuk pelecehan seksual non fisik yang dilakukan melalui kata-kata atau pernyataan yang bernuansa seksual tidak pantas dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan mempermalukan atau mempermalukan seseorang. Dalam konteks hukum Indonesia, pelecehan seksual secara verbal diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pelecehan seksual non fisik menurut UU TPKS meliputi tindakan seksual non fisik yang ditujukan pada tubuh, hasrat seksual, dan/atau organ reproduksi dengan tujuan merendahkan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau moralitas.
Pelecehan seksual non fisik, termasuk pelecehan seksual secara verbal, dapat berupa pernyataan, gerak tubuh atau aktivitas lain yang tidak pantas dan menjurus ke arah seksualitas dengan tujuan mempermalukan atau merendahkan korban. Misalnya saja ucapan yang bersifat pornografi atau bernuansa sensual, ucapan yang merendahkan martabat seseorang berdasarkan seksualitasnya, dan ucapan yang merendahkan martabat secara seksual.
Dalam UU TPKS, pelecehan seksual secara verbal dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau denda paling banyak Rp10 juta. Hukumannya dapat ditambah 1/3 jika pelecehan verbal dilakukan dalam situasi tertentu, seperti dalam keluarga, terhadap anak-anak atau penyandang disabilitas, atau menggunakan sarana elektronik. Selain itu, hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak asuh anak, pengumuman identitas pelaku, atau penyitaan keuntungan dan/atau harta benda yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.
Dengan demikian, pelecehan seksual secara verbal mempunyai akibat hukum yang serius sesuai dengan ketentuan UU TPKS dan dapat dipidana sesuai dengan keberatan dan konteks terjadinya pelecehan tersebut.