Magelang (ANTARA) – Dari perbincangan media sosial alumni kampus, kami mendapat kabar bahwa kondisi penyair Joko Pinurbo (Jokpin) semakin membaik, setelah baru-baru ini menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Kota Yogyakarta.Penyair dan aktivis literasi di Magelang, Jawa Tengah, Wicahyanti Rejeki, juga mendapat kabar dari jaringan informasinya tentang Jokpin yang dirawat karena sakit. Penyair berusia 61 tahun itu, saat remaja, menjalani pendidikan seminari di daerah perbatasan dengan Kota Magelang.
Saat ada tamu yang datang ke rumah Wicah sore itu, buku puisi Jokpin, “Khong Guan Banquet” (2020), telah diambil dari deretan rak dan dipindahkan ke meja komputer di dalam rumah. Pada antologi tersebut terdapat stempel kuning yang menandakan bahwa pemilik buku tersebut adalah “Rumah Literasi Aruna”, sebuah komunitas literasi yang dibangun oleh Wicah bersama aktivis lain di daerah setempat.
Kepada para tamunya, ia mengingatkan agar buku tersebut dikembalikan ke “Rumah Literasi Aruna”, setelah keperluannya selesai.
Sekilas menampilkan nuansa korelasi halaman 15-16 buku, berupa puisi berjudul “Sabtu Malam di Angkringan”, dengan hiruk pikuk politik Indonesia saat ini menjelang pemilu presiden yang diwarnai dengan bekas luka. pada pembangunan demokrasi.
Jurnal Diklastri (Pendidikan, Pembelajaran, Linguistik, Bahasa Indonesia, dan Sastra Indonesia) volume 2 nomor 1 edisi Desember 2021 juga menyajikan kajian lebih mendalam terhadap penggalan puisi tersebut dalam kaitannya dengan hingar bingar situasi politik.
“Lupakan politik yang liar dan hingar-bingar. Maukah kamu minum kopi atau meminumku? Atau bersandar pada punggungku yang hangat dan liberal, sebelum punggungku berubah menjadi punggung negeri yang dingin dan perkasa,” demikian bunyi sebagian puisi yang ditulis. pada tahun 2018 oleh Jokpin.
Perkembangan tahapan menuju pemilu 2024 diwarnai gejolak politik. Impian untuk bergembira dan berbahagia dalam perjalanan menuju puncak pemilu sebagai pesta demokrasi bagi seluruh rakyat tanah air, nyatanya justru menyisakan luka di dalamnya.
Persaingan politik mau tidak mau diakui sebagai persaingan ketat antar kubu yang berkepentingan menghadirkan calon presiden dan wakil presiden, mencari dan memperkuat dukungan calon pemilih, bahkan manuver elite yang mengejutkan publik.
KPU telah menerima pendaftaran tiga calon presiden dan wakil presiden dari masing-masing partai politik. Ketiga paslon yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar didukung koalisi Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Ummat.
Selain itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD didukung PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka didukung koalisi Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Garuda, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Rakyat Adil Makmur. (Utama). Prima merupakan partai yang tidak lolos menjadi peserta pemilu 2024.
Hiruk pikuk politik pemilu juga ditandai dengan perdebatan sengit antar elite politik yang seolah ingin menang sendiri. Orang Jawa mungkin menggunakan ungkapan sindiran untuk mereka sebagai “ora ngilo githok e”, yang secara kasar berarti ketidakmampuan untuk merefleksikan diri sendiri.
Pengamat dan tokoh politik pun turut memberikan analisis melalui berbagai forum dan siaran digital mengenai perkembangan politik Indonesia dengan berbagai manuvernya.
Berbagai podcast dan siaran politik di televisi banyak menyita perhatian pengunjung melalui konten pesta demokrasinya. Berbagai survei pemilu terus dilakukan secara terus menerus untuk memperoleh informasi terkini mengenai perkembangan dinamika elektabilitas pasangan calon.
Belum lagi, terkait persidangan mengenai pelanggaran etik dalam sidang Mahkamah Konstitusi hingga memutus uji materi aturan syarat calon, semakin membuat gaduh dunia politik.
Hal ini juga berlaku pada netralitas aparatur negara, yang saat ini mungkin tidak lagi cukup hanya sekedar digaungkan, namun harus diwujudkan dalam praktik pengawasan dan penindakan. Munculnya tanda-tanda praktik politik dinasti dan nepotisme seolah membawa awan duka di langit demokrasi.
Panggung politik pemilu saat ini terlalu banyak menampilkan drama dan ibarat sinetron yang mengkhawatirkan, karena dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap jalan sehat pesta demokrasi. Dalam situasi seperti ini, catatan semangat reformasi pada tahun 1999 mungkin layak disajikan sebagai refleksi penting mengenai tonggak sejarah menuju demokrasi.
Di tengah kecurigaan sebagian masyarakat terhadap netralitas, Presiden Joko Widodo mengingatkan persaingan politik sebagai hal biasa yang harus dilakukan tanpa merusak semangat persatuan dan kesatuan.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya menghadirkan pesta demokrasi yang berkualitas demi kemajuan bangsa dan negara ke depan.
Perlu disadari bahwa tahapan pemilu hingga saat ini tidak cukup hanya menghadirkan calon presiden dan wakil presiden untuk dihadirkan kepada masyarakat sebagai pemilih pada 14 Februari 2024.
Proses kehadirannya sebagai calon juga harus menjaga nilai-nilai luhur, etika, dan moral budaya demokrasi. Sebaliknya, pemilih secara cerdas dan berbudi luhur digiring ke tempat pemungutan suara, melalui kotak pemilihan.
Tujuannya agar pemenang kontestasi tidak dianggap cacat karena demokrasi terhindar dari cedera dan masyarakat menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi karena memilih secara mulia. Terlihat dari puisi “Sabtu Malam di Angkringan”, pemenang pemilu harus benar-benar menjadi sandaran negara, tempat peristirahatan yang kuat bagi masa depan bangsa.
Pemilihan umum sudah tepat dan tidak boleh hanya melibatkan pasangan calon dan partai politik pengusungnya untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, baik calon maupun masyarakat beserta wakilnya, menyelenggarakan pesta demokrasi secara bermartabat.
Puisi lain berjudul “Demokrasi” (2018) yang juga merupakan bagian dari antologi “Khong Guan Banquet” sepertinya harus dipahami melalui paradigma terbalik untuk menyampaikan harapan baik dan bermartabat kepada calon dan rakyat.
“Orangnya adalah Sukir, kusir yang memberikan tempat duduk kepada penumpang bernama Sukri dengan imbalan acungan jempol dan janji. Sukir dan keretanya tetap hepi, kling klong kling klong. Sukri tidak bisa duduk nyaman lagi, pantatnya sakit. dari digigit kursi,” demikianlah puisi itu.
Harapan agar tetap kekinian, pesan penuh makna juga diungkapkan seniman tani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui festival seni budaya mandiri tahunan mereka, Festival Lima Gunung XXII/2023 di penghujung. bulan Agustus lalu.
Festival ini mengangkat tema “Kalis ing Kahanan”. Pesan yang terkandung dalam tema tersebut nampaknya tidak hanya sekedar menjaga masyarakat yang berbudaya luhur agar tidak terlindung dari situasi yang tidak menentu, namun juga menjaga harapan massa partai politik tetap dalam semangat demokrasi.
Pemilu yang demokratis diakui sebagai bagian penting bagi kemajuan masa depan peradaban bangsa dan negara ini. Jangan sakiti!
Editor: Masukkan M. Astro
HAK CIPTA © ANTARA 2023