Jakarta (ANTARA) – Nadia tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat membicarakan penghentian sepihak beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) oleh Pemprov DKI Jakarta.“Tidak ada pemberitahuan sebelumnya Bu, tiba-tiba dicabut begitu saja. Kami tidak lagi menerima bantuan beasiswa KJMU,” kata Nadia di Jakarta, Rabu.
Setiap semester, Nadia mendapat beasiswa KJMU sebesar Rp 9.000.000. Bantuan ini digunakan untuk membayar biaya kuliah tunggal (UKT) di kampus sebesar Rp 10.000.000. Meski tak mampu menanggung seluruh biaya pendidikan tingginya, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta itu mengaku sangat terbantu dengan adanya beasiswa tersebut.
“Orang tua hanya nambah Rp1.000.000 bu, jadi tidak terlalu memberatkan,” kata anak penjual nasi uduk itu.
Nadia mengaku sangat prihatin dengan keputusan Pemprov DKI yang memotong beasiswa bagi masyarakat yang masuk dalam peringkat kesejahteraan (Desil) 5, 6, 7, 8, 9, dan Desil 10. Dalam aturan terbaru, desil diperuntukkan bagi siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Mereka yang memenuhi syarat untuk menerima KJP Plus (Kartu Jakarta Pintar) dan bantuan KJMU berada pada kategori sangat miskin (Desil 1), miskin (Desil 2), hampir miskin (Desil 3) dan rentan miskin (Desil 4).
“Ayah saya hanya pekerja lepas, setelah sempat di PHK di era COVID-19, namun anehnya beliau masuk dalam Desil 5,” ujar mahasiswa penerima KJMU, Fatimah.
Fatimah berharap Pemprov DKI Jakarta bisa mengkaji ulang keputusan pencabutan beasiswa tersebut karena dikhawatirkan akan menghambat kelancaran studi mahasiswa penerima KJMU. Fatimah mengaku khawatir keputusan tersebut dapat menyebabkan mahasiswanya mengambil cuti massal karena tidak mampu membayar UKT.
Permasalahan pembiayaan pendidikan tinggi tidak hanya terjadi pada penerima KJMU. Sebelumnya, mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) juga dihebohkan dengan tawaran pembiayaan pendidikan melalui pinjaman online untuk membayar biaya kuliah di kampus.
Padahal, pendidikan tinggi merupakan salah satu cara memutus rantai kemiskinan di negara kita. Sejumlah praktik baik telah muncul tentang bagaimana pendidikan tinggi dapat mengubah nasib sebuah keluarga dari jurang kemiskinan.
Pendidikan tinggi juga menjadi jembatan terakhir untuk mewujudkan mahasiswa menjadi warga negara yang kompeten dan mandiri dalam dunia kerja. Sayangnya, menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing memerlukan biaya yang tidak murah. Alternatif tersebut perlu dipenuhi secara kolaboratif oleh pemerintah, industri dan masyarakat.
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam mengakui biaya pendidikan tinggi tidaklah murah.
Data menunjukkan rata-rata total biaya pendidikan tinggi di Indonesia berkisar 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 28 juta/mahasiswa.
Biaya pendidikan tinggi di india relatif lebih murah dibandingkan India, yaitu sekitar 3.000 dolar AS per mahasiswa. Sedangkan Malaysia hanya seperempat karena biaya pendidikannya berkisar 7.000 dollar AS per pelajar. Kemudian di Singapura mencapai 25.000 dollar AS per siswa, di Australia sekitar 20.000 dollar AS, dan di Amerika sebesar 23.000 dollar AS.
Sementara di negara-negara Skandinavia, biaya pendidikan ditanggung oleh negara, karena masyarakat membayar pajak penghasilan yang tinggi. Sementara di Indonesia, pembayaran pajak masih rendah, kata Nizam, dalam hybrid education talk bertajuk “Menemukan Skema Terbaik dan Ringan untuk Pelajar Funding at Yarsi University”, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Diskusi tersebut dihadiri oleh Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Teknologi Sri Suning Kusumawardani, Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Handayani, Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin, dan Rektor Universitas YARSI Fasli Jalal sebagai responden.
Nizam mengatakan, model pendanaan SPP yang adil harus diterapkan kepada mahasiswa, sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Bahkan bagi mahasiswa dari keluarga miskin atau kurang mampu, tersedia Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah dengan anggaran lebih dari Rp 13 triliun.
Namun terdapat tantangan bagi kelompok kelas menengah yang mengalami kesulitan biaya kuliah, namun kesulitan mendapatkan beasiswa.
“Untuk itu perlu dicari skema pendanaan yang baik, tidak membuat mahasiswa terjebak hutang seumur hidup,” kata Nizam.
Gotong royong
Diperlukan upaya gotong royong untuk membantu mahasiswa menyelesaikan studinya. Gotong royong ini perlu melibatkan semua pihak mulai dari pemerintah, swasta dan juga masyarakat. Selain itu, untuk dapat menekan biaya pendidikan pada perguruan tinggi, perlu dilakukan pembagian proporsi penugasan pada PTN dan PTS, sesuai dengan tingkat akreditasinya.
Begitu pula bantuan biaya operasional pendidikan (BOP), sesuai jumlah siswa yang bertugas. Bantuan tunjangan profesi dosen sesuai dengan standar penugasan dan rasio dosen/mahasiswa. Perlu ada sinergi pendanaan dengan CSR dari dunia usaha dan dunia industri (DUDI), sinergi pendanaan dari pemerintah daerah dan pemerintah desa, serta beasiswa LPDP untuk sarjana terus ditingkatkan.
Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Handayani menyatakan BRI dapat memberikan dukungan terkait dua aspek utama, yakni biaya pendidikan dan literasi keuangan.
Untuk biaya pendidikan, BRI siap memberikan dukungan dalam bentuk beasiswa, pinjaman Briguna Pendidikan dengan bunga rendah, dan juga pembiayaan melalui fasilitas cicilan kartu kredit dengan bunga mulai 0 persen. Perbankan dapat memfasilitasi kebutuhan pembiayaan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan awal hingga perguruan tinggi.
Mengenai pinjaman online atau online sebenarnya tidak ada salahnya, namun jika bunganya tinggi tentu akan memberatkan peminjam. Berdasarkan data, sebagian pelajar juga terjebak dalam pinjaman online. Bahkan untuk guru pun tergolong tinggi, hingga 42 persen.
Untuk pembiayaan pendidikan, BRI siap memberikan dukungan dalam bentuk beasiswa, pinjaman pendidikan Briguna dengan bunga rendah, dan juga pembiayaan melalui fasilitas cicilan kartu kredit dengan bunga mulai nol persen.
Editor: Masukkan M. Astro
Hak Cipta © ANTARA 2024