NEWS

Berita Trending Terupdate

UmumUnik

Kurikulum Merdeka dan tantangan penerapan P5

Padahal, jika kalimat di atas dipahami lebih dalam, maka yang berhak menentukan siap atau tidaknya P5 adalah gurunya, bukan pemimpinnya.
Ini merupakan tantangan untuk tidak selalu memiliki pola pikir top down.

Salah satu kendala berpikir bottom up adalah iklim sekolah yang kurang mampu memaknai “kemandirian guru” bahwa guru adalah pengembang kurikulum pada tingkat pembelajaran.

Iklim yang tidak kondusif menjadi ancaman bagi guru untuk berkreasi dan mengekspresikan “kemandirian kurikulum”.
Kreativitas dan inisiatif guru masih dipandang negatif.

Inilah tantangan kita bersama untuk menyebarkan benih-benih iklim kreasi dan inovasi di satuan pendidikan.

Ketiga, hargai inisiatif dan proses, bukan hasil. Tantangan ketiga ini berkaitan dengan tantangan kedua di atas dalam hal siapa penggagasnya.

Siapapun yang menginisiasinya, pemimpin (pola pikir top down) atau guru (pola pikir bottom up), yang utama diperlukan adalah memberikan apresiasi terhadap inisiatif dan proses yang dilakukan, tidak menuntut hasil dan terkesan sinis.

Inisiatif dan proses merupakan wujud bahwa suatu satuan pendidikan ada, hidup, bergerak, aktif dan bertransformasi. Ini adalah tantangan bersama.

Ada dua pola proses yang dapat digunakan untuk memulai P5, yaitu proses analisis dan proses sintesis. Proses menganalisis bagaimana menggunakan suatu input untuk diolah, dilihat, dirasakan, diolah menjadi beberapa jenis produk atau proses lanjutan.

Proses sintesis merupakan suatu proses yang menggabungkan beberapa masukan menjadi suatu produk atau proses lanjutan. Misalnya pada suatu satuan pendidikan terdapat kolam air di belakang sekolah.

Kumpulan inovator pagi ini dapat menjadi masukan untuk proses analisis dan proses sintesis. Dengan adanya kolam, berbagai macam inisiatif dan program dapat diciptakan.

Di sisi lain, mini pool menjadi masukan bagi inisiatif dan program yang lebih luas, misalnya kerjasama dengan beberapa satuan pendidikan. Penting untuk mengembangkan apresiasi terhadap inisiatif dan proses ini

Keempat, kemauan keras di atas segalanya. Melihat tantangan kedua dan ketiga di atas, terlihat jelas bahwa faktor “keinginan” merupakan faktor yang paling dalam dan paling sejati.

Kehendak jenis ini merupakan kehendak yang timbul dari lubuk hati yang terdalam. Kehendak yang timbul dari kesadaran, pandangan hidup, dan wawasan luas.

Dalam memulai penerapan P5, faktor kemampuan menjadi nomor dua. Apa maksudnya mampu tapi tidak mau? Ketidakmampuan bisa berubah menjadi kemampuan bila ada kemauan.

Sebaliknya, kemampuan dapat hilang ketika tidak ada kemauan untuk menggunakan kemampuan tersebut untuk melakukan transformasi.

Kelima, memandang P5 sebagai peluang dan peluang untuk mendapatkan keuntungan. Guru dan pimpinan satuan pendidikan merupakan orang-orang terpilih yang menjadi teladan bagi peserta didiknya.

Ketika mereka memandang realitas lingkungan dengan pandangan individualistis, maka seluruh realitas diukur dengan standar mereka sendiri.

Pengukuran sendiri umumnya menggunakan ukuran keuntungan diri sendiri. Apa manfaatnya, mencari masalah, dan berbagai ekspresi individu lainnya.

Ketika guru dan pemimpin adalah orang-orang yang sadar bahwa dirinya adalah panutan bagi siswanya, maka pandangan individu diperluas hingga mencakup pandangan sosial (zoon politicon), moral (makhluk bermoral) dan agama (manusia sebagai pelayan), misalnya sebagai wujudnya. rasa syukur.

Dalam sudut pandang lain, seperti dikemukakan Maslow dalam bukunya yang terkenal, “Toward a Psychology of Being”, menyatakan bahwa aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia.

Tentu saja guru dan pemimpin, mengingat mereka adalah teladan bagi siswa, maka ketika melihat P5 sebagai peluang untuk menebar manfaat melalui cara pandang manusia sebagai manusia sosial, moral dan agama atau melalui cara pandang sebagai bentuk aktualisasi diri, maka P5 bisa berharap. untuk diimplementasikan.

Sudut pandang atau cara pandang ini sangat penting dalam segala hal, termasuk dalam pelaksanaan P5.

Sugiarso adalah Koordinator Program Jembatan Papua PT Freeport Indonesia, mahasiswa Program Doktor Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.

HAK CIPTA © ANTARA 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *