NEWS

KPK geledah ruang kerja Anggota BPK Pius Lustrilanang

KPK geledah ruang kerja Anggota BPK Pius Lustrilanang

Jakarta (ANTARA) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) VI Pius Lustrilanang sebagai perkembangan terkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Plt. Bupati Sorong Yan Piet Mosso.Benar, kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat membenarkan informasi penggeledahan di Jakarta, Rabu.

Ali mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut karena proses penggeledahan masih berlangsung.

Penyidik ​​Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (14/11) menahan dan menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi suap berdasarkan temuan audit keuangan di Pemerintah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Keenam tersangka tersebut adalah Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso (YPM), Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat (ES), Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle (MS), Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing (PLS) , Kepala BPK Provinsi Subaud Papua Barat Abu Hanifa (AB), dan Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung (DP).

Konstruksi kasus dugaan korupsi ini bermula saat BPK hendak memeriksa laporan keuangan Pemprov Papua Barat Daya.

Sebagai tindak lanjutnya, salah satu pimpinan BPK menerbitkan surat tugas untuk melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang cakupan pemeriksaannya di luar pemeriksaan keuangan dan kinerja.

Dalam surat penugasan, susunan personelnya adalah PLS sebagai penanggung jawab, AH sebagai pengendali teknis, dan DP sebagai ketua tim. Mereka ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan kepatuhan belanja daerah tahun anggaran 2022 dan 2023 pada Pemerintah Kabupaten Sorong dan instansi terkait lainnya, termasuk Provinsi Papua Barat Daya.

Dari temuan pemeriksaan PDTT di Provinsi Papua Barat Daya khususnya di Kabupaten Sorong diperoleh beberapa laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan temuan tersebut, sekitar bulan Agustus 2023, mulai terjalin serangkaian komunikasi antara ES dan MS, sebagai perwakilan YPM, dengan AH dan DP yang juga mewakili PLS.

Dalam komunikasi tersebut, rencananya akan diberikan sejumlah uang agar temuan tim pemeriksaan BPK tersebut dihilangkan.

Penyerahan uang dilakukan secara bertahap dengan berpindah lokasi, termasuk di hotel-hotel di Sorong.

Secara bergantian, ES dan MS menyerahkan uang kepada AH dan DP. Setiap ada penyerahan uang kepada AH dan DP, ES dan MS selalu melaporkannya ke YPM. Begitu pula AH dan DP pun melaporkan dan menyerahkan uang tersebut kepada PLS.

Istilah yang disepakati dan dipahami untuk penyerahan uang adalah “titipan”.

Sebagai bukti permulaan awal, uang yang diserahkan YPM melalui ES dan MS kepada PLS, AH dan DP sekitar Rp 940 juta dan sebuah jam tangan merek Rolex.

Sedangkan tanda terima PLS bersama AH dan DP yang juga menjadi bukti inisiasi awal berjumlah sekitar Rp1,8 miliar.

Besaran uang yang diberikan dan diterima para tersangka masih didalami tim penyidik ​​dan dikembangkan dalam penyidikan.

Tersangka YPM, ES, dan MS selaku pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian, tersangka PLS, AH dan DP sebagai pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Reporter: Fianda Sjofjan Rassat
Redaksi : Edy M Yakub
HAK CIPTA © ANTARA 2023

Exit mobile version