Secara institusional, DPD masih konsisten mendukung penghapusan ambang batas presiden 20 persen. Jakarta (ANTARA) – Ketua Fraksi Kelompok DPD MPR M. Syukur menyatakan mendukung penuh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pengaturan ulang ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Syukur mengatakan, masyarakat mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan perlu dilindungi suaranya dalam pemilu agar tidak ada satupun suara yang hilang hanya karena partai yang dipilih tidak memenuhi ambang batas parlemen.
“Saya usulkan kalau perlu angka persentase ambang batas parlemen diperkecil sedemikian rupa, kalau bisa sampai nol, agar suara rakyat tidak terbuang sia-sia sehingga suaranya lebih banyak terwakili di DPR,” ujarnya. dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa. .
Ia menilai desain pemilu tanpa ambang batas parlemen atau menggunakan ambang batas seminimal mungkin jauh lebih demokratis dan berdaulat dibandingkan menggunakan jumlah besar, namun mengakibatkan hilangnya suara banyak rakyat.
Selain itu, menurutnya, keputusan MK yang menganulir ambang batas 4 persen bisa menjadi momentum untuk melakukan pengujian ulang terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. .
“Padahal kedua norma ini diatur dalam kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy, namun sama-sama menghilangkan kedaulatan rakyat, sehingga harusnya Presidential Threshold dihilangkan,” ujarnya.
Selama ini, kata Syukur, DPD fokus mengkaji isu penghapusan Presidential Threshold 20 persen karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan menghilangkan hak kebebasan memilih individu.Pada tahun 2022, DPD mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Namun ditolak dengan alasan tidak mempunyai legal standing.
“Secara kelembagaan, DPD masih konsisten mendukung penghapusan ambang batas presiden 20 persen, meski hal ini sudah berkali-kali digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai kelompok masyarakat dan selama itu Mahkamah Konstitusi belum berhasil menghapuskannya,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, keputusan majelis hakim MK tidak pernah bulat karena ada dua hakim MK yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Suhartoyo dan Saldi Isra.
“Hal ini menunjukkan masih ada hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi yang menilai Presidential Threshold 20 persen itu bermasalah,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam sidang paripurna Kamis (29/2) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang diajukan Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam putusannya, MK meminta pembentuk undang-undang untuk menata kembali angka dan persentase ambang batas parlemen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar lebih rasional.
Reporter: Nadia Putri Rahmani
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Hak Cipta © ANTARA 2024