NEWS

Kaleidoskop – Transformasi ekonomi UMKM yang diusik predatory pricing

Kaleidoskop - Transformasi ekonomi UMKM yang diusik predatory pricing

Jakarta (ANTARA) – Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebanyak 65 juta dengan kontribusi penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen.Dalam hal pertumbuhan ekonomi, peran UMKM tidak bisa dianggap remeh. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Agustus 2023 mencapai 61 persen atau setara Rp9.580 triliun.

Julukan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional nampaknya tidak berlebihan dan masih terbukti di era pasca pandemi COVID-19 dan tekanan perekonomian akibat ketegangan geopolitik.

Namun, apakah pemerintah bisa berpuas diri? Tentu tidak. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui UMKM sendiri masih memiliki sejumlah tantangan yang perlu segera diselesaikan agar perannya tidak luntur.

Dilihat dari kuantitasnya, jumlah UMKM ini sungguh mencengangkan. Namun struktur pelaku ekonomi di Indonesia didominasi oleh pelaku usaha skala mikro dengan persentase mencapai 99 persen.

Tingginya persentase usaha mikro memang memprihatinkan. Selain karena kontribusi perekonomiannya yang tentunya tidak sebesar usaha skala kecil apalagi usaha skala menengah, usaha mikro merupakan perekonomian subsisten yaitu usaha yang cenderung hanya bertujuan untuk bertahan hidup. Tidak ada skema pembiayaan, apalagi masuk ke industrialisasi dan impor.

Terganggu oleh penghematan, penetapan harga predator, dan perdagangan sosial

Pemerintah bisa merencanakan, tapi tidak bisa memprediksi. Siapa sangka sejumlah jalan yang telah disiapkan untuk mewujudkan transformasi ekonomi UMKM justru terganggu hemat, penetapan harga predator Dan perdagangan sosial.

Awal tahun 2023 menjadi masa dimana perekonomian negara mulai merangkak naik setelah resmi keluar dari pandemi COVID-19. Daya beli masyarakat mulai kembali dan pelaku UMKM kembali berani memproduksi produk lebih banyak.

Bersamaan dengan itu, terjadi fenomena belanja baju bekas atau yang disebut dengan hemat semakin meluas seiring penggunaan e-commerce yang meningkat tajam selama pandemi.

Tak ada salahnya berbelanja pakaian bekas. Masalah muncul karena sebagian besar item hemat diperoleh melalui impor yang jelas-jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Pasal 2 dan 3 menyebutkan pakaian bekas dilarang untuk diimpor.

Jika tindakan ilegal ini tidak mengganggu produk lokal, mungkin akan menjadi masalah hemat tidak keluar. Namun momentum Ramadhan dan Idul Fitri yang diharapkan menjadi titik lonjakan permintaan produk dalam negeri, urung terjadi. Berbagai konveksi di Jabar terpaksa berhenti beroperasi. Imbasnya, para pelaku usaha fesyen, termasuk pemilik merek ternama Tanah Air pun menjerit.

Jeritan tersebut tentu akibat tertekannya penjualan produk dalam negeri. Penyebab sepinya penjualan bukan karena kualitas produk dalam negeri yang kalah bersaing, melainkan harga. Masyarakat cenderung memilih pakaian impor yang harganya lebih murah meski merupakan barang bekas dibandingkan produk lokal yang kerap dicap kurang berkualitas.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang seharusnya mengutamakan pengusaha dalam negeri, bergerak cepat menyelamatkan UMKM dengan mempertemukan para pelaku e-commerce. Komitmen untuk memberantas praktik thrifting dan perdagangan pakaian bekas impor di platform masing-masing tercapai.

Masalahnya belum terpecahkan hemat Karena harus terkoordinasi lintas kementerian dan lembaga, kapal transformasi ekonomi UMKM kembali dilanda badai.

Kali ini penetapan harga predator, strategi bisnis menurunkan harga jual suatu produk untuk menghilangkan persaingan. Produk UMKM kembali merugi karena harga yang ditawarkan melalui e-commerce sungguh tidak masuk akal.

Pakaian, kosmetik, dan sepatu dijual sangat murah di bawah harga pasar, bahkan mulai dari Rp 5 ribu. Padahal, jika dihitung biaya modal kain ditambah biaya jahitnya saja, pastinya lebih dari Rp 5 ribu. Belum lagi biaya produksi hingga pengiriman.

Seperti tiga koin, penetapan harga predator Hal ini pun merembet ke salah satu platform asal China yaitu TikTok yang sengaja menggunakan lisensinya sebagai media sosial sekaligus e-commerce melalui TIkTok Shop atau dikenal dengan istilah social commerce.

TikTok melalui kecerdasan buatannya mampu mengidentifikasi video yang mampu menarik perhatian masyarakat, termasuk jenis barang apa yang sedang dicari dan diminati. Kemudian, video yang muncul diarahkan ke produk yang Anda cari, melalui fitur TikTok Shop.

Transaksi TikTok Shop meroket mengalahkan e-commerce lain seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada karena menawarkan produk serupa dengan harga jauh lebih murah dan berada di platform yang sama dengan TikTok sebagai aplikasi media sosial.

Meski sudah berusaha menekan biaya produksi dengan hanya meraup untung kecil, bagaimana para pelaku usaha dalam negeri bisa bersaing jika produk impor sejenis dijual dengan harga murah karena tidak perlu khawatir dengan biaya pengiriman atau pajak.

Buntutnya, para pedagang kembali mengibarkan bendera putih sebagai tanda tak mampu bersaing dengan harga dan strategi pemasaran TikTok Shop.

Dalam upaya melindungi UMKM, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun ini resmi ditandatangani dan TikTok dilarang untuk dijual. Permendag melarang tegas platform media sosial berperan sebagai produsen dan menjadi tempat transaksi langsung. Kemudian produk impor harus memenuhi standar seperti produk dalam negeri dan dilarang menjual produk impor dengan nilai kurang dari 100 dollar AS atau setara Rp 1,5 juta.

Melalui aturan ini diharapkan para pelaku UMKM mempunyai tingkatan lapangan olahraga yang sama dengan produk impor. Sekaligus dibarengi dengan peningkatan kualitas produk agar mampu bersaing dengan produk impor.

Nomor Registrasi Bisnis

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas UMKM adalah Kementerian Koperasi dan UKM terus mendorong UMKM untuk memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) agar mendapatkan banyak manfaat. Mulai dari insentif usaha, perlindungan hukum hingga kemudahan akses pembiayaan formal. Tujuan besarnya tentu saja untuk berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

Sayangnya, UMKM masih menganggap pengurusan izin usaha berbelit-belit dan memakan waktu lama. Belum lagi ada anggapan bahwa izin usaha hanya diperuntukkan bagi usaha skala besar.

Padahal, sesuai amanat turunan Peraturan Pengganti UU Cipta Kerja, pembuatan NIB bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan tanpa dipungut biaya. Pengurusan izin usaha semudah mengakses laman oss.go.id atau mendownload aplikasi OSS Indonesia. Kemudian isi identitas Anda dan tinggal menunggu izin usaha keluar.

Setelah NIB diterbitkan, pelaku usaha di bidang makanan dan minuman dapat segera mengajukan sertifikasi halal dan sertifikasi lainnya seperti Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). Pemilik usaha dengan NIB juga mendapatkan kursi prioritas untuk menerima bantuan usaha dari pemerintah.

Tak sekadar meminta masyarakat mengurus NIB, Kementerian Koperasi dan UKM secara khusus menyiapkan tim pendamping bernama Garda Transfumi yang berperan membantu pelaku usaha mikro mendapatkan NIB dan mendampingi mereka masuk dalam program hilirisasi produk nasional di tengah maraknya NIB. produk impor.

Upaya bersama tersebut membuahkan hasil yang manis karena hingga akhir November 2023, penerbitan NIB telah mencapai 3,4 juta, melebihi target yang sebesar 2,5 juta. Begitu pula dengan sertifikasi halal yang telah melampaui target 1 juta sertifikasi atau total telah diterbitkan 1.003.304 sertifikat.

Klaster KUR

Pemerintah melakukan terobosan penguatan perekonomian masyarakat melalui Klaster Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbasis supply chain. Penyaluran pembiayaan beralih dari sektor perdagangan ke sektor produksi prioritas yaitu pertanian, perkebunan, peternakan, dan peternakan. Plafon Klaster KUR juga diperluas menjadi Rp500 juta.

Melalui Klaster KUR, risiko Non Performing Loan (NPL) akan berkurang karena UMKM terhubung dengan off taker rantai pasok industri. Jadi, perbankan tidak perlu lagi khawatir UMKM gagal membayar pinjaman atau kredit macet karena sudah ada kepastian pasar.

Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UKM berupaya agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengizinkan perbankan tidak hanya menggunakan pendekatan agunan konvensional melalui metode penjaminan berupa agunan sebagai syarat UMKM mengakses KUR. .

Creddit Scoring diusulkan menjadi salah satu syarat bagi pelaku UMKM untuk mengakses KUR yang sebelumnya telah diterapkan di 145 negara. Atau setidaknya bisa meniru konsep yang digunakan pelaku teknologi keuangan (fintech). Melalui teknologi digital, fintech dapat memberikan pinjaman tanpa agunan hingga Rp 2 miliar. Bahkan UMKM yang terkoneksi dengan ekosistem Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bisa meminjam hingga Rp 10 miliar dari fintech.

Secara total, diharapkan penyaluran Klaster KUR berbasis rantai pasok sebesar Rp1,34 triliun dengan rincian 117 klaster dan 15.776 anggota klaster UMKM. Data terkini Kementerian Koperasi dan UKM mencatat realisasi Klaster KUR berbasis rantai pasok hingga April 2023 mencapai Rp539,7 miliar yang diberikan kepada 50 klaster dengan anggota klaster UMKM sebanyak 5.310 orang.

Redaksi : Slamet Hadi Purnomo
Hak Cipta © ANTARA 2023

Exit mobile version