NEWS

“Jalan Tikus” menembus hutan Jakarta

"Jalan tikus" penembus belantara Jakarta

Saya cuma kepikiran pas saya lewat sana, banyak orang yang ngebut.

Jakarta (ANTARA) – Wah, yuk wah, teriak salah satu pengendara sepeda motor saat terjebak kemacetan di jalur alternatif kawasan Petamburan.Warga Jakarta dan para pekerja di Ibu Kota Jakarta tentu paham betapa melelahkannya terjebak kemacetan di jalan-jalan utama.

Duduk berdiam diri di dalam kendaraan sambil diiringi suara klakson yang bertautan dan memekakkan telinga merupakan pemandangan yang lumrah di belantara Jakarta.

Oleh karena itu, jalur alternatif yang disebut juga dengan “jalan tikus” dianggap sebagai penyelamat bagi pengemudi, terutama bagi mereka yang sehari-hari mengendarai sepeda motor dan mobil.

Buku berjudul “Ayo Mengenal Jalan” (2018) karya Riki Eka Putra menyebutkan bahwa jalan tikus merupakan jalur pendek yang memungkinkan seseorang lebih cepat mencapai tujuannya.

“Jalan tikus sering digunakan untuk menghindari persimpangan atau kemacetan,” tulis Riki.

Jalan tikus itu membentang di tengah pemukiman padat penduduk, di antara gedung pencakar langit ibu kota bahkan ada yang bersinggungan dengan rel kereta api.

Aplikasi wayfinding pada perangkat selalu setia memandu pengemudi untuk menunjukkan rute alternatif yang cepat dan benar.

Hal ini sudah menjadi ritual yang lumrah dilakukan oleh sebagian besar pengemudi di Jakarta sebelum mengemudikan kendaraannya melewati kemacetan.

Sebelumnya, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencatat indeks kemacetan Jakarta pada pertengahan tahun 2023 mencapai 53 persen, meningkat drastis dibandingkan saat pandemi COVID-19 terjadi yakni 35 persen.

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta menurut data Korlantas Polri mencapai 26.370.535 unit pada tahun 2022.

Dengan menguasai jalan tikus tersebut, pengemudi dapat melintasi desa-desa dan mengosongkan lahan untuk mencari jalan pintas, yang tentunya lebih memuaskan dibandingkan tetap berada di dalam kendaraan sambil menghadapi kemacetan yang menyita waktu dan menguras tenaga.

Menyeberangi jalan alternatif juga menghadirkan sejumlah tantangan. Seperti halnya jalan desa, kondisi jalan tidak selalu ideal dan mulus.

Selain itu, mayoritas jalan alternatif tersebut cukup sempit, hampir seperti gang yang hanya cukup untuk satu mobil atau bahkan satu sepeda motor saja.

Terkadang, pengendara juga harus menghadapi tikungan tajam dan tikungan terjal.

Artinya, menggunakan jalur alternatif ini memerlukan keterampilan berkendara yang sangat baik.

“Kalau tidak lewat jalan tikus, nanti saya tua di jalan,” kata Sabki yang setiap hari mengendarai sepeda motor dari Cibinong ke Jakarta.

Baginya, bermanuver di gang sempit adalah hal yang lumrah karena yang terpenting cepat sampai tujuan.

Jalur alternatif biasanya digunakan untuk menghemat waktu perjalanan, menghindari kemacetan, dan terkadang untuk menghindari pemeriksaan polisi.

“Saya suka lewat sini supaya aman,” kata Udin yang baru mulai bekerja di Jakarta satu tahun lalu.

Jalur alternatif juga seringkali menjadi prioritas dalam manajemen lalu lintas, terutama jika dilakukan pengalihan jalan.

Dampaknya, volume kendaraan di jalur alternatif juga semakin meningkat.

Oleh karena itu, banyak warga kelurahan di Jakarta yang wilayah tempat tinggalnya sering dijadikan jalur alternatif merasa tidak puas dengan kondisi lingkungannya yang semakin bising dan padat akibat lalu lintas kendaraan.

Mereka terpaksa mengorbankan kenyamanan yang pernah mereka nikmati demi kebaikan bersama.

Seperti yang diungkapkan Kirman, warga Gang Langgar, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Setiap pagi gang rumahnya selalu ramai dengan sepeda motor menuju Jalan MT Haryono.

“Saya suka berisik dan tidak nyaman, kadang saya bilang hati-hati, banyak orang lewat, pelan-pelan,” kata Kirman.

Namun Kirman dan warga sekitar selalu menerima hal tersebut. Mereka sadar bahwa tempat tinggal mereka cukup dekat dengan jalan-jalan utama di ibu kota.

Keluhan serupa juga disampaikan Dwi, warga Ciracas, Jakarta Timur. Ia mengatakan, banyak kendaraan yang melewati Terowongan Ceger yang terletak di kawasan Kampung Rambutan dan berada tepat di bawah Tol Jagorawi.

“Waktu saya lewat sana, saya cuma mikir-mikir, banyak orang ngebut,” kata Dwi.

Jalan sempit ini menjadi akses alternatif yang selalu ramai dikunjungi pengendara sepeda motor karena menghubungkan Kecamatan Cipayung dan Ciracas.

Keamanan dan keselamatan warga negara

Menurut Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga, Pemprov DKI Jakarta, Dinas Perhubungan DKI, dan Polda Metro Jaya perlu melakukan evaluasi terhadap jalan tikus di Jakarta.

Hal ini harus mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan warga yang berada di sepanjang jalan tikus tersebut karena jalan tersebut tidak bisa dianggap sebagai jalan umum.

Solusi yang ditawarkan, lanjut Nirwono, pertama dengan membuka dan menutup jalan alternatif, misalnya pada pagi dan sore hari, dengan pengawasan petugas Dinas Perhubungan dan Polisi Lalu Lintas. Hanya warga yang memiliki stiker khusus yang boleh masuk ke jalan tersebut.

Kedua, pengendara sepeda motor juga perlu diberikan edukasi mengenai perbedaan jalan tikus dan jalan umum. Hal ini penting agar jika ada jalan tikus yang dibuka atau ditutup, pengemudi dapat memahaminya dan mengikuti instruksi yang diberikan.

Ketiga, Pemerintah perlu mendorong masyarakat agar beralih ke transportasi massal atau angkutan umum sebagai pilihan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Keberadaan jalan tikus di perkotaan Jakarta masih menjadi topik penting yang menjadi perhatian dalam upaya meningkatkan mobilitas dan mengurangi kemacetan.

Upaya Pemerintah meninjau kembali keberadaan dan regulasi jalan tikus serta mendorong penggunaan transportasi massal merupakan langkah yang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap tantangan lalu lintas di Ibu Kota Jakarta.

Redaktur: Achmad Zaenal M
HAK CIPTA © ANTARA 2023

Exit mobile version