Dalam konteks perceraian dalam hukum Islam, hak istri memegang peranan penting setelah gugatan cerai diterima. Rendra Widyakso dalam penelitiannya mengenai Tuntutan Tunjangan dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Semarang mengidentifikasi beberapa kategori penyaluran tunjangan yang menjadi hak mantan istri pasca perceraian.
1. Dukungan Madhiyah : Dukungan yang berkaitan dengan masa lalu dan tidak selalu berkaitan dengan talak talak. Istilah ini mencakup tuntutan nafkah madhiyah yang dapat diajukan oleh seorang istri ketika suaminya mengajukan cerai melalui talak, melalui gugatan rekonvensi.
2. Pemeliharaan iddah : Setelah akad talak, mantan istri menjalani masa iddah, dan hak pemeliharaan iddah diatur dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari akibat talak talak.
3. Pemeliharaan mut’ah : Hak ini timbul dari perasaan penderitaan mantan istri yang harus berpisah dengan suaminya. Dukungan mut’ah diperlukan untuk menghilangkan kesedihan, meski terdapat perbedaan pendapat jika gugatan cerai diajukan oleh istri.
4. Tunjangan Anak : Hak istri untuk menuntut nafkah anak timbul setelah peristiwa perceraian. Kewajiban ayah terhadap anak sesuai dengan ketentuan Hukum Islam (KHI) harus dipenuhi sesuai kemampuan agar anak dapat mandiri.
Dalam kasus perceraian karena talak, KHI secara khusus mengatur kewajiban mantan suami, antara lain memberikan tunjangan mut’ah, tunjangan iddah, melunasi mahar, dan memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum mencapai usia 21 tahun. . Namun ketika gugatan cerai diajukan oleh istri, KHI tidak menyebutkan secara tegas hak-hak istri setelah perceraian. Yang jelas KHI menyebutkan hak seorang istri setelah menceraikan suaminya adalah mendapat nafkah iddah, kecuali ia terbukti melakukan nusyuz. Nusyuz, sebagai perilaku durhaka dan memberontak terhadap suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh undang-undang, dapat menjadi dasar penentuan hak-hak istri.
Dalam konteks ini, KHI menekankan bahwa seorang istri dapat dianggap nusyuz apabila ia tidak memenuhi kewajiban utamanya, yaitu berbakti kepada suaminya dalam batas yang diperbolehkan dalam syariat Islam. Jika terjadi lian yang mengacu pada sumpah suami istri mengenai tuduhan zina, maka putusnya perkawinan, anak yang dikandungnya dianggap sebagai anak ibu dan suami dibebaskan dari kewajiban memberi nafkah. Tinjauan mendalam ini menguraikan kerangka hak-hak istri dalam konteks perceraian Islami, mencakup berbagai aspek nafkah dan kewajiban, serta akibat hukum dalam berbagai skenario perceraian.