Lidah buaya terkenal dengan daunnya yang tebal, runcing, berwarna hijau dengan semburat putih atau kuning. Panjangnya bisa mencapai 30–50 sentimeter. Tiap daun mengandung jaringan berlendir yang menyimpan air sehingga membuatnya kental.
Menurut Kementerian Pertanian, di Indonesia lidah buaya pertama kali ditanam dalam skala kecil di pot atau pekarangan pada tahun 1980an. Namun sekitar tahun 1990-an, para petani lidah buaya mulai menanamnya di lahan khusus. Seiring dengan manfaat yang diperoleh, minuman segar dari lidah buaya semakin berkembang seiring berjalannya waktu.
Pada tahun 1992, para petani beralih ke sistem monokultur, yang berarti mereka mulai membudidayakan lidah buaya di lokasi tertentu dengan menggunakan teknologi yang lebih maju. Pemilihan lokasi yang tepat untuk tanaman ini penting dilakukan untuk memastikan tanah bebas dari penyakit.
Salah satu sentra produksi lidah buaya terbesar di Indonesia berada di Pontianak. Berdasarkan data BPS pada tahun 2020, produksi lidah buaya bisa mencapai 16.928 ton dengan nilai produktivitas 184 ton per hektar.
Harga lidah buaya di sentra produksi pada triwulan II tahun 2021 di tingkat petani bisa mencapai Rp5.500 per kg dan di pasar Rp6.250. Komoditas ini diterima dengan baik untuk pasar dalam negeri di sejumlah kota besar maupun luar negeri seperti Asia.
Tanaman sukulen ini memiliki prospek usaha yang bagus. Dapat digunakan di berbagai industri seperti kuliner, kosmetik, farmasi dan pupuk. Lidah buaya ibarat oase di tengah keringnya Gunungkidul.
“Dengan kekurangannya di Gunungkidul, iklimnya kering, panas saat kemarau, lahannya tadah hujan. Singkat cerita, lidah buaya ini dipilih karena pertama-tama mudah perawatannya.” luas karena masuk ke industri farmasi, kosmetik, dan kuliner,” kata Alan.
Hingga saat ini Alan fokus memanfaatkan budidaya lidah buaya miliknya untuk potensi kuliner dan edukasi. Produk kuliner yang diproduksi dengan merek Rasane Vera antara lain nata de aloe vera, nata de aloevera, minuman aloevera cube dan aloe liquid. Alan juga menjual lidah buaya dan gelnya ke beberapa industri.
Selain makanan, Alan kini membuka wisata edukasi tentang budidaya lidah buaya dan produksi produknya. Dalam wisata edukasi ini, Alan menawarkan program yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai pemanfaatan lidah buaya dari hulu hingga hilir.
Konsep “dari hulu ke hilir” mengacu pada pemahaman menyeluruh terhadap suatu proses, dari awal hingga akhir. Dalam konteks budidaya lidah buaya, “hulu” mengacu pada tahap awal produksi, seperti pemilihan benih, penanaman, dan perawatan tanaman. Sementara itu, “hilir” mengacu pada tahap akhir produksi, termasuk pemanenan, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk akhir.
“Kami di Gunungkidul yang pertama menawarkan wisata edukasi hulu dan hilir. Wisata belajar yang menawarkan segalanya mulai dari menanam, merawat hingga mengolah hasil budidaya,” kata Alan.
Beragam manfaat lidah buaya ini memungkinkan adanya peluang bisnis yang menjanjikan dengan potensi omzet yang menguntungkan. Dalam sebulan, dari bidang kuliner dan pendidikan, Alan bisa menghasilkan Rp45 juta hingga Rp50 juta setiap bulannya.
“Semuanya jual bahan baku, edukasi, produk kurang lebih Rp 45-50 juta. Tergantung bulannya, kalau lebaran bisa lebih,” imbuh Alan.