Jakarta (ANTARA) – Transformasi sektor energi menjadi sebuah keniscayaan pasca Perjanjian Paris 2016 yang menyoroti isu perubahan iklim. Karena itu, dunia internasional kini berlomba-lomba cepat untuk mencapai nol emisi karbon.Setiap negara yang telah menandatangani komitmen jangka panjang mau tidak mau saat ini sedang menjalani masa transisi energi.
Menyikapi komitmen jangka panjang tersebut, sejumlah negara maju tengah sibuk meningkatkan investasi penggunaan energi ramah lingkungan, seperti Energi Baru Terbarukan (EBT) selama beberapa tahun terakhir.
Untuk tiga uang, kondisi yang sama juga terlihat di negara kita sendiri. Indonesia juga telah memasukkan pembangunan rendah karbon dan transformasi energi ke dalam daftar strategi pembangunan tahun ini.
Bahkan, Presiden Joko Widodo pada KTT G20 tahun 2021 menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai nol emisi karbon pada tahun 2060.
Untuk itu, serangkaian upaya terutama dalam mencari sumber dana investasi terus dilakukan untuk memastikan target tersebut tercapai.
Berdasarkan proyeksi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), kawasan Asia Tenggara membutuhkan pembiayaan setidaknya 29,4 triliun dolar AS hingga tahun 2050 untuk melaksanakan transisi energi, dengan skenario kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius dan pemanfaatan 100 persen. energi baru terbarukan.
Komitmen investasi
Pada KTT G20 tahun 2022, Indonesia berhasil menandatangani Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) dengan komitmen dana investasi sebesar 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menjelaskan, dana investasi tersebut diberikan melalui dua jalur, yakni 10 miliar dolar AS yang diberikan melalui dana masyarakat atau anggaran Pemerintah. negara maju yang tergabung dalam International Partnership Group (IPG). ). Sementara itu, 10 miliar dolar AS lainnya diberikan melalui pendanaan dari bank internasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero.
Untuk mengamankan komitmen sekaligus jemput bola terkait realisasi dana investasi kemitraan, pemerintah telah meresmikan Sekretariat JETP Indonesia pada 26 Februari 2023.
Agenda kerja Sekretariat JETP Indonesia antara lain menyelesaikan roadmap pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara, mobilisasi investasi, serta mendukung mekanisme pembiayaan yang dituangkan dalam lembar Comprehensive Investment Plan (CIP).
Meski masih menunggu dananya terealisasi, namun yang bisa kami lakukan terlebih dahulu seperti memetakan PLTU yang harus pensiun dini. Salah satunya PLTU Pelabuhan Ratu, kata Yudo.
Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo dalam setiap kunjungan kerja juga tak segan-segan mengingatkan negara-negara donor untuk segera merealisasikan komitmen investasi masing-masing agar program kerja JETP Indonesia dapat dimulai.
Di saat yang sama, Indonesia juga terus mengupayakan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) yang diberikan kepada Indonesia karena berhasil menurunkan emisi sektor kehutanan pada periode 2014-2016.
Pada awal tahun ini, Indonesia menerima pencarian pertamanya dengan nilai 46 juta dollar AS atau setara Rp 718,5 miliar. Jumlah tersebut masih berkisar 44 persen dari total komitmen dana GCF yang mencapai 103,8 juta dolar AS.
Dana tersebut dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang salah satunya untuk membiayai pembangunan infrastruktur sektor energi, termasuk berbagai proyek pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan.
Targetkan peluang investasi lainnya
Melihat perjalanan Indonesia yang masih panjang dalam merealisasikan investasi yang telah ditandatangani, Ekonom Senior Faisal Basri dalam kesempatan berbeda berpendapat bahwa masih banyak alternatif sumber pendanaan, terutama dari dalam negeri, untuk melakukan proses transisi energi.
Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan keuntungan ekspor dari energi kotor seperti batu bara yang total nilai ekspornya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Daripada berharap banyak dana investasi dari lembaga internasional, lebih baik manfaatkan energi kotor untuk investasi bersih. “Memungkinkan lingkungan untuk transisi energi di Indonesia masih memerlukan banyak persiapan, termasuk dari segi instrumen hukum dan penegakan hukum. Saya menyarankan pendanaan investasi hanya dari kegiatan yang sedang berjalan,” kata Faisal.
Apalagi, pembangkit listrik tenaga batu bara masih menjadi tulang punggung sumber listrik dalam negeri. Dapat dipastikan penghentian pembangunan pembangkit listrik tersebut akan hampir selesai dengan pengecualian atau dengan kata lain tidak akan mungkin dilakukan.
Terkait kegiatan ekspor kelompok batubara misalnya, Indonesia harus bisa menerapkan skema pungutan tambahan (windfall profit tax) dan pajak lingkungan hidup menyusul negara lain, seperti Mongolia.
Seperti diketahui, ekspor kelompok batu bara melonjak hingga menyumbang seperempat total ekspor Indonesia dengan keuntungan mencapai 71 miliar dolar AS atau setara seribu triliun rupiah pada tahun lalu.
Dari keuntungan sebesar itu, minimal harus ada pajak lingkungan hidup atau windfall profit tax sebesar 50 persen agar tambahan Rp 500 triliun bisa digunakan untuk program transisi energi.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu khawatir dengan kurangnya pendanaan investasi untuk memastikan transisi energi menuju energi bersih dan nol emisi karbon berjalan tepat waktu.
Redaksi : Slamet Hadi Purnomo
HAK CIPTA © ANTARA 2023