Dalam ajaran Islam, memaafkan sangat dihargai sebagai perilaku baik hati. Namun, ada situasi tertentu di mana seseorang diperbolehkan untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa terkadang orang yang berbuat jahat kepada kita adalah orang yang jahat dan merusak pandangan masyarakat.
Jika kita memaafkan orang tersebut, ada kemungkinan dia akan meneruskan perilaku buruknya dan semakin rusak. Dalam hal ini sebaiknya dilakukan tindakan hukum terhadap orang tersebut sebagai bentuk tanggung jawab keadilan. Dengan cara ini, peluang tercipta untuk perbaikan dan keadilan yang lebih baik.
Selain itu, seseorang juga diperbolehkan memberikan balasan yang setimpal atas keburukan atau kejahatan orang lain, sebagaimana Allah SWT. disebutkan dalam surat Asy-Syura ayat 40 yang artinya,
“Dan pahala suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal, namun siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat keburukan) maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura : 40)
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam konteks pengampunan, penting juga untuk mempertimbangkan niat di balik tindakan tersebut. Jika niat kita diganggu oleh balas dendam dan keinginan untuk membuktikan kekuasaan, maka itu bukanlah pengampunan yang sejati dari sudut pandang agama. Memaafkan yang sejati adalah ketika kita benar-benar ikhlas dalam hati dan tidak ingin menyakiti orang lain, meski tidak melupakan perbuatan buruk yang pernah dilakukan.
Secara keseluruhan, dalam ajaran Islam, ada situasi tertentu di mana seseorang diperbolehkan untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan mencegah orang jahat mengembangkan perbuatannya lebih lanjut. Namun penting juga untuk diingat bahwa pemahaman dan penerapan sikap memaafkan yang benar harus dilandasi oleh niat yang baik dan tulus.