Pemilu pertama seharusnya dilaksanakan pada bulan Januari 1946, namun karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, penyelenggaraan pemilu menjadi mustahil. Pada bulan Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan rancangan undang-undang pemilu (RUU). Namun kabinet ini tumbang sebelum sempat diperdebatkan di parlemen.
Dilansir dari kesbangpol.kapuashulukab.go.id, baru pada bulan Februari 1952 kabinet Wilopo memperkenalkan RUU pendaftaran pemilih. Namun pembahasan di DPR baru dimulai pada September karena berbagai keberatan dari partai politik.
Tiga faktor utama yang menjadi kendala adalah kekhawatiran para legislator akan kehilangan kursi, kekhawatiran akan kemungkinan pengaruh partai-partai Islam, dan ketidaksesuaian sistem pemilu dengan UUD Sementara 1950, yang berarti berkurangnya keterwakilan daerah di luar Jawa.
“Peristiwa 17 Oktober 1952” menjadi titik puncak yang mempercepat perlunya pemilihan umum, ketika tentara bersenjata menuntut pembubaran badan legislatif, sehingga menimbulkan seruan yang lebih besar dari semua partai untuk mengadakan pemilihan umum lebih awal. Pada akhirnya, RUU Pemilu diserahkan ke DPR pada 25 November.
Setelah perdebatan selama 18 minggu dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut disahkan pada tanggal 1 April 1953 dan menjadi undang-undang pada tanggal 4 April. RUU ini menentukan besarnya keanggotaan legislatif, memberikan hak memilih kepada setiap orang yang berusia di atas 18 tahun, atau siapa yang sudah menikah. Meskipun kabinet yang memperkenalkan rancangan undang-undang pemilu tersebut jatuh setelah adanya langkah-langkah kontroversial, perencanaan pemilu tetap berjalan.
Sejarah pemilu tahun 1955 di Indonesia merupakan tonggak sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Meski persiapan awal sempat tertunda, dengan pelantikan anggota panitia Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dimulai pada 15 September dibandingkan 1 Agustus sesuai rencana, kegigihan panitia TPS di berbagai daerah membuat mereka siap pada hari pemungutan suara.
Pemilu 1955 dilaksanakan sebanyak dua kali, yang pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan kemudian pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Hari pemungutan suara berjalan lancar, meski ada rumor yang menimbulkan ketegangan di masyarakat. Jumlah pemilih mencapai tingkat yang tinggi, dengan 87,65% pemilih memberikan suara sah.
Dengan tingkat partisipasi yang tinggi dan suasana yang relatif damai, pemilu kali ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia saat itu mempunyai kesadaran akan pentingnya proses demokrasi. Hasil ini menciptakan legitimasi bagi wakil rakyat terpilih dan menandai langkah besar dalam membangun fondasi politik negara yang baru merdeka tersebut.