Sugeng Darmanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, mengatakan pemerintah kota telah berupaya menerjemahkan kebijakan yang dibuat provinsi. Misalnya melalui pengurangan dan penanganan sampah dengan berbagai cara.
Di Kota Yogyakarta, pengelolaan sampah diatur melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 yang merupakan pemutakhiran dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012. Peraturan ini mengatur secara luas pengelolaan sampah yang terdiri dari sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. . Termasuk juga pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dalam hal pengelolaan sampah.
Sugeng menambahkan, Pemerintah Kota Yogyakarta juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) Wali Kota Yogyakarta Nomor 660/6123/SE/2022 tentang gerakan nihil sampah anorganik. Aturan yang akan disosialisasikan pada awal tahun 2023 ini adalah untuk mengurangi volume sampah anorganik.
Gerakan nihil sampah anorganik dilakukan dengan menggencarkan bank sampah di tingkat desa atau RW. Hingga September 2023, terdapat 658 bank sampah di Yogyakarta. Kabarnya, gerakan ini mampu mengurangi produksi sampah hingga 87 ton.
Pada masa darurat sampah, pemerintah kota juga membentuk gerakan Pengolahan Sampah dan Sampah Bersama Biopori Ala Jogja atau Mbah Dirjo. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk mengelola sampah organik melalui biopori, yaitu lubang yang dibuat di dalam tanah untuk menyerap air hujan. Selain biopori, pengurangan sampah organik juga dilakukan dengan menggunakan tempat sampah dan ember bertumpuk. Mbah Dirjo dilakukan baik secara mandiri, rumah tangga, maupun komunal dengan biopori jumbo.
Sugeng mengklaim saat ini terdapat 29.800 titik biopori yang tersebar di Kota Yogyakarta. Sedangkan targetnya pada tahun 2024 biopori bisa mencapai 33 ribu titik. Pengelolaan sampah dengan biopori mampu mereduksi sampah hingga 60 ton.
Pemerintah juga sedang menyiapkan TPS3R di Nitikan. TPS3R nantinya akan menjadi tempat pengelolaan sampah berkelanjutan.
Menurut Sugeng, kedua gerakan tersebut telah membantu mengurangi produksi sampah hingga 50 persen. Sementara selebihnya, Pemkot sedang mempertimbangkan pengelolaan sampah dengan teknik Refuse Derived Fuel (RDF).
“Kami sedang menjajaki apakah sampah tersebut bisa dibawa ke pusat pengelolaan sampah dan dijadikan RDF. Ibarat membuat sekam, sampahnya dicacah lalu dikeringkan dan remah-remah yang dihasilkan digunakan untuk dibakar,” kata Sugeng saat ditemui di kantornya, Jumat. Kamis (5/10/2023).
Sementara itu, Tyas menjelaskan, upaya yang dilakukan pemerintah daerah perlu dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang memadai. Dalam pemilahan sampah misalnya, perlu adanya tempat yang sesuai agar masyarakat tidak kebingungan dalam meletakkan sampah yang telah dipilah tersebut.
“Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah memfasilitasi sarana dan prasarana pemilahan sampah dan pemantauan bank sampah,” jelas Tyas.
Ia melihat masih banyak bank sampah yang belum beroperasi maksimal baik karena kurangnya fasilitas maupun bantuan. Akibatnya masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan atau membakarnya.
Agar darurat sampah tidak terulang lagi, pemerintah juga harus banyak berbenah. Perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah dapat terjadi jika pemerintah memiliki komitmen yang kuat dan tidak hanya menyalahkan masyarakat.