NEWS

Cerita Jakarta dan si “saudara kembar”

Cerita Jakarta dan si "saudara kembar"

Kota memiliki peran unik dalam pemulihan hijau pasca krisis…Jakarta (ANTARA) – Jakarta dan air telah menjadi “saudara kembar” sejak hujan tropis di masa lalu mengikis punggung Gunung Salak dan Gunung Pangrango di selatan Jakarta dan membentuk dataran, menurut sejarawan JJ Rizal saat mengawali cerita tentang Jakarta dan air, yang menurutnya berkaitan erat.Secara geografis, wilayah yang dulu disebut Sunda Kalapa di peta lama atau Batavia ini dilintasi 13 sungai termasuk Sungai Ciliwung yang hulunya berada di perbatasan Kabupaten Bogor dan Cianjur kemudian bermuara ke pesisir utara Jakarta.

Dahulu, masyarakat sekitar yang tak lain adalah masyarakat Betawi mengenal unsur air sebagai bagian dari kehidupannya dan mengabadikannya dalam nama lokasi bahkan makanan di area pribadi.

Beberapa nama lokasi di Jakarta yang sebagian masih ditemukan hingga saat ini memang identik dengan nama “Rawa”, seperti Rawa Belong di Jakarta Barat yang dulunya dimanfaatkan masyarakat sebagai kawasan tambak. Kemudian “Kali” seperti Kalideres di Jakarta Barat atau “Ci” yang diambil dari bahasa Sunda yaitu “Cai” atau berarti air antara lain Cipete di Jakarta Selatan dan Cilincing di Jakarta Utara.

Ada pula tempat yang bernama depan Pulo, misalnya Kampung Pulo yang kerap mendapat perhatian masyarakat saat banjir melanda berbagai wilayah Jakarta. Nama Kampung Pulo menjelaskan bahwa kawasan ini dihuni oleh air dan manusia. Saat hujan kawasan ini menjadi perkampungan air karena terisi air, kemudian berubah menjadi perkampungan rakyat pada musim kemarau.

Selain itu, ada juga Tebet di Jakarta Selatan. Kawasan yang pada tahun 1950-an dikenal sebagai tempat memelihara istri-istri muda ini ternyata merupakan tempat atau kolam besar untuk memelihara ikan.

“Hal ini menandakan bahwa geografi memberikan ruang yang luas bagi semacam ingatan warganya bahwa unsur air tidak hanya penting, tetapi merupakan unsur yang esensial jika ingin bertahan hidup sebagai sebuah kota,” kata Rizal.

Tak berhenti sampai disitu, masyarakat juga memberikan ruang bagi air untuk masuk ke salah satu aspek paling pribadi dalam kehidupan sehari-hari, yakni makanan. Beberapa nama makanan seperti gabus pucung dan roti buaya menjadi bukti anggapan masyarakat Betawi bahwa Jakarta identik dengan air.

Masakan berbahan dasar gabus ini diciptakan dengan memanfaatkan ekologi kawasan rawa dan sungai, bahkan dengan roti buaya yang biasa menjadi oleh-oleh wajib bagi calon pengantin pria Betawi.

Buaya yang konon menjadi simbol kesetiaan bagi masyarakat khususnya di kawasan Condet ini diyakini sebagai semacam reinkarnasi nenek moyang penjaga kawasan sungai. Hal ini sekaligus mengingatkan kita bahwa hewan ini dan tempat hidupnya yaitu air atau sungai merupakan bagian dari keluarga besar ditinjau dari sejarah dan budaya masyarakat Jakarta.

Di sisi lain, kedekatan Jakarta dengan air juga tercatat dalam dunia sastra pada abad ke-19, salah satunya melalui buku berjudul Hikayat Nakhoda Asik karya penulis Betawi Muhammad Bakir.

Rizal mengatakan, melalui buku ini penulis menceritakan kisah masyarakat Betawi yang dekat dengan air dan terhubung dengan dunia luar melalui perdagangan rempah-rempah. Asal usul nama daerah Dramaga di Bogor, Jawa Barat, dan Pondok Cina, Depok, juga disertakan di sini.

“Nah, pedagang Tionghoa (Tionghoa) itu naik darat ke Bogor, lalu di atasnya mereka membuat perahu di Dermaga (Dramaga) lalu meluncurkannya lewat Sungai Ciliwung. Nanti mereka transit di Depok, makanya Depok punya Namanya Pondok Cina,” ujarnya.

Dari Dramaga, lalu Pondok Cina, para pedagang melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Ciliwung hingga sampai di Pelabuhan Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) yang sebelumnya dikuasai Kerajaan Sunda yakni pada abad ke-12.Munculnya permasalahan dan gagasan biru-hijau

Seiring berjalannya waktu, Sunda Kelapa yang berganti nama menjadi Jayakarta dan kemudian menjadi Batavia pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, berkembang secara ekonomi dan mulai mengalahkan kota-kota lain seperti Surabaya.Hal ini rupanya menimbulkan permasalahan tata ruang. Keberadaan air dan sungai mulai diabaikan dan menyebabkan banjir. Bencana ini kemudian menjadi masif pada akhir abad ke-19, terjadi secara rutin namun siklusnya tidak dapat diprediksi.

Rizal menilai banjir benar-benar mengubah dan memacu masyarakat, khususnya pemerintah kota, untuk memikirkan cara mengatasi permasalahan tersebut.

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengatasi banjir dan salah satu nama besar yang berperan penting di sini adalah MH Thamrin melalui proyek Kanal Banjir atau Flood Canal bersama Herman van Breen. Bersamaan dengan proyek ini, lahir pula proyek perbaikan desa untuk menyelamatkan warga desa dari banjir.

Proyek Kanal Banjir sedang berjalan dan masih menjadi bagian dari upaya pengendalian banjir di Jakarta selain sejumlah upaya lainnya. Merujuk pada rencana induk atau masterplan pengendalian banjir, Kepala Subkelompok Perencanaan Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Maman Supratman mengatakan, upaya penanganan banjir dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun DKI Jakarta.

Upaya penanganannya dimulai dari hulu dengan membangun beberapa embung atau waduk seperti Waduk Brigif di Jakarta Selatan dan Waduk Pondok Ranggon di Jakarta Timur, serta Bendungan Ciawi dan Sukamahi serta Ciliwung Sodetan hingga Kanal Banjir Timur (BKT). yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun lalu.

Lalu ada upaya penanganan banjir lokal dengan meningkatkan kapasitas sungai dan polder. Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta menambah kapasitas pompa banjir agar cepat mengurangi genangan air. Penanganan banjir rob di wilayah pesisir Jakarta juga tidak dilupakan, yakni dengan membangun tanggul laut.

Di sisi lain, Pemerintah juga sedang membangun polder, yaitu cara penanganan banjir dengan fasilitas fisik yang lengkap antara lain saluran drainase, kolam retensi, dan pompa air yang dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan.

Pada 2022-2023, ada delapan polder yang dibangun Dinas SDA DKI, antara lain Polder Kelapa Gading, Polder Pulomas, Sub Polder Marunda, Polder Muara Angke, Polder Mangga Dua, Polder Teluk Gong, Polder Green Garden, dan Polder Kamal.

Tak hanya itu, pemerintah juga memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan sistem peringatan dini banjir berbasis Android agar masyarakat dapat melihat ketinggian air sungai saat hujan sehingga dapat melakukan tindakan mitigasi sedini mungkin. Pada akhirnya, upaya ini diharapkan dapat mengurangi dampak yang mungkin terjadi terhadap bahaya banjir.​​​​​​​Pemerintah kini juga mengembangkan teknologi untuk memprediksi wilayah banjir dan genangan ketika terjadi hujan ekstrem dengan mengadopsi kecerdasan buatan (AI) yang diharapkan selesai pada tahun ini.

Upaya pengendalian banjir – di satu sisi dan di sisi lain gagasan konsep kota biru dan hijau – terus berkembang dan menjadi perbincangan berbagai pihak, mulai dari akademisi hingga aktivis lingkungan hidup.

Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah DKI Jakarta Iwan Kurniawan menilai pendekatan terpadu dalam pengelolaan keanekaragaman hayati perkotaan yang melibatkan aspek hijau dan biru kota seperti taman, sungai, dan lahan basah merupakan bagian penting dalam perencanaan. dan penataan kota DKI Jakarta.

Kota mempunyai peran unik dalam pemulihan lingkungan hidup pasca krisis dan membangun ketahanan, hal ini menunjukkan perlunya ruang hijau di kota dan akses terhadap alam perkotaan.

Kemudian, berkaca dari sejarah Jakarta yang selama ini masyarakatnya hidup dari air, Rizal dan Maman sama-sama menyebut warna biru dan hijau sebagai konsep kota Jakarta di masa depan. Rizal bahkan menegaskan, Jakarta sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menjadi kota biru dan hijau.

Menurut Rizal, integrasi warna biru dan hijau sendiri sedang menjadi tren hampir di seluruh dunia saat ini akibat perubahan iklim dan meningkatnya gagasan kota berketahanan. Dalam hal ini, berbagi ruang tidak hanya dengan manusia, namun juga dengan lingkungan menjadi aspek penting menuju kota masa depan.

Faktanya, konsep integrasi hijau dan biru perlahan diterapkan oleh Pemerintah DKI, antara lain pada waduk yang sedang dibangunnya. Di Waduk Brigif misalnya, saat ini proporsi hijau (ruang terbuka hijau) sebesar 20 persen, sedangkan sisanya berwarna biru. Nantinya konsep serupa akan dibangun di lokasi lain.Kemudian, mengingat sejarah Jakarta yang erat kaitannya dengan air, termasuk asal usul kota dalam konten lokal juga merupakan saran Rizal guna membangkitkan kenangan akan kedekatan Jakarta dan “saudara kembarnya”: air.

Redaktur: Achmad Zaenal M
Hak Cipta © ANTARA 2024

Exit mobile version