Pada saat terjadinya pemilihan umum pertama di Indonesia pada tahun 1955, istilah pengawasan pemilu belum dikenal. Suasana kepercayaan antara peserta dan warga membangun kepercayaan terhadap integritas pemilu yang pada saat itu bertujuan untuk membentuk lembaga parlemen atau yang dikenal dengan Majelis Konstituante.
Meskipun terdapat benturan ideologi yang cukup kuat, namun kecurangan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu sangat minim dan jika terjadi gesekan umumnya terjadi di luar wilayah penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, pemilu tahun 1955 seringkali dianggap sebagai pemilu paling ideal dalam sejarah Indonesia.
Lembaga Pengawas Pemilu mulai muncul pada Pemilu 1982 dengan nama Panitia Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Saat itu muncul kekhawatiran terhadap pelaksanaan pemilu yang mulai dipengaruhi oleh kekuasaan rezim yang berkuasa. Pembentukan Panitia Pengawas Pemilu pada Pemilu 1982 dipicu oleh protes terhadap pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara pada Pemilu 1971.
Ketika pelanggaran pemilu tahun 1977 meningkat, pemerintah dan DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI menanggapi protes tersebut dengan mengusulkan perbaikan undang-undang untuk meningkatkan “kualitas” pemilu tahun 1982. Untuk memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah sepakat untuk melibatkan perwakilan peserta pemilu dalam panitia pemilu. dan memperkenalkan badan baru yang mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Di era reformasi, tuntutan untuk membentuk penyelenggara pemilu yang independen dan bebas dari pengaruh penguasa semakin kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi terbentuknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen. Sementara itu, Bawaslu juga mengalami perubahan nomenklatur dari Panitia Pengawas Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Perubahan mendasar terkait lembaga Pengawas Pemilu dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Berdasarkan Undang-undang tersebut, dibentuk lembaga ad-hoc untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, apapun struktur KPU-nya, dengan membentuk Panitia Pengawas Pemilu. , Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya lembaga pengawas pemilu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang membentuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Bawaslu bertanggung jawab sampai ke tingkat kecamatan/desa melalui Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Meski Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 memberikan sebagian kewenangan pembentukan Pengawas Pemilu kepada KPU, namun Mahkamah Konstitusi kemudian mengubahnya melalui uji materi yang dilakukan Bawaslu terhadap Undang-Undang tersebut.
Oleh karena itu, rekrutmen Pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu. Kewenangan utama Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 meliputi pengawasan tahapan Pemilu, penerimaan pengaduan, dan penanganan pelanggaran administratif, pelanggaran pidana Pemilu, dan kode etik.