Apa dakwah yang benar dan niat baik melawan kejahatan dari sudut pandang Islam? Marilah kita mencermati firman Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Al-Karim:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْ مُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤ ىِٕكَ هُمُ الْم ُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada sekelompok orang yang menyerukan kebajikan, memerintahkan (mengerjakan) apa yang bajik, dan melarang apa yang jahat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imrân [3]: 104)
Imam Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H/1445-1505 M), dalam kitabnya yang sangat populer, Tafsîr al-Jalâlain, dalam menafsirkan ayat ini mengatakan:
Pesannya جاهل
Artinya: “Huruf ‘min’ mempunyai arti sebagian, karena yang disebutkan (dalam ayat 104 yaitu dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar) adalah fardhu kifâyah, tidak patut dilakukan oleh semua orang, misalnya manusia. yang bodoh (tidak berilmu)” (al-‘Allâmah Ahmad as-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyat al-‘Allâmah as-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, Juz I, hal. 229).
Ada beberapa syarat menurut Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani antara lain:
1. Mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.
2. Tujuan atau motivasi dari amar ma’ruf adalah mencari keridhaan Allah dan mengagungkan agama-Nya, serta meninggikan firman-Nya, bukan karena riyâ’, sum’ah, dan kesombongan terhadap diri sendiri. Dia akan menolong dan membimbing orang yang berbuat jahat menuju kebaikan, jika memang dia (orang yang mempunyai sikap baik terhadap keburukan) berbuat benar dan ikhlas.
3. Perintah dan larangan dilaksanakan dengan kelembutan, kebaikan dan kasih sayang. Nasehat diberikan dengan cara yang baik, tidak kasar dan marah-marah, agar ia tidak mengibaratkan musuhnya dengan setan yang terkutuk.
4. Menjadi orang yang sabar, dermawan, toleran, rendah hati, mampu mengendalikan hawa nafsu, tegar hati, taat (tidak kasar atau galak), bagaikan dokter yang merawat pasiennya, bestari bijak yang merawat orang gila, dan seorang pemimpin yang memberikan instruksi.
5. Melaksanakan apa yang diperintahkannya, menjauhi apa yang dilarangnya, dan tidak tercoreng dengan hal-hal yang haram, sehingga tidak dikuasainya, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-Âdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt, juz I, hal. 51-53).