Dilansir dari Kemenag lewat NU Online, berikut tafsir Surat Al-Baqarah 233 menurut tafsir Tahlili:
Setiap ibu (walaupun ia seorang janda) wajib menyusui anaknya sampai anak tersebut berumur dua tahun. Tidak masalah jika masa menyusui kurang dari jangka waktu tersebut jika ibu dan ayah melihat ada manfaatnya. Demikian pula setiap ayah wajib memenuhi kebutuhan ibu dalam hal sandang dan pangan sesuai kebutuhannya. Ibu ibarat wadah bagi anak, sedangkan ayah adalah pemilik wadah tersebut. Maka wajar jika ayah wajib menafkahi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya serta menjaga dan merawat harta bendanya.
Allah SWT mewajibkan para ibu untuk menyusui bayinya, karena ASI mempunyai pengaruh yang besar terhadap anaknya. Hasil penelitian para ahli medis menunjukkan bahwa ASI terdiri dari saripati yang benar-benar murni. ASI juga merupakan makanan terbaik bagi bayi dan hal ini sudah tidak diragukan lagi oleh para ahli nutrisi.
Selain karena sifat keibuannya, ia mempunyai rasa kasih sayang yang mendalam sehingga pemberian ASI langsung dari ibu sangat erat kaitannya dengan tumbuh kembang kejiwaan dan kejiwaan anak. Oleh karena itu, tidak tepat jika mengambil tindakan sementara bagi para ibu yang tidak mau menyusui anaknya hanya karena kepentingan pribadi, misalnya menjaga kecantikan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan kodratnya sendiri dan secara tidak langsung ia kehilangan kesempatan membangun landasan hubungan keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang emosional.
Inilah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap buah hatinya yang diatur oleh Allah SWT. Sedangkan keringanan kewajiban juga diberikan, misalnya jika kesehatan ibu terganggu atau dokter mengatakan tidak baik ibu menyusui karena alasan tertentu, maka tidak ada salahnya jika anak mendapat ASI atau makanan dari orang lain. .
Begitu pula jika sang ayah tidak mampu menjalankan kewajibannya karena miskin, maka ia boleh menjalankan kewajibannya sesuai kemampuannya. Kelegaan ini membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan alat yang merugikan, baik terhadap ayah maupun ibunya.
Dengan kata lain, kewajiban ini tidak harus berlaku secara mutlak sehingga mengakibatkan kerugian bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh merendahkan pihak lain dengan menjadikan anak sebagai kambing hitam. Misalnya karena ibu mengetahui bahwa ayah wajib memberi nafkah, maka ia memerasnya dengan tidak menyusui atau mengasuh bayi tanpa sejumlah uang tertentu.
Atau sang ayah sangat pelit dalam memberi nafkah sehingga sang ibu menderita karenanya. Selanjutnya apabila salah satu pihak ibu atau bapak tidak sanggup melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka kewajiban tersebut berpindah kepada ahli waris.
Lamanya masa menyusui adalah dua tahun, namun jika berdasarkan musyawarah antara ayah dan ibu demi kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk menghentikannya sebelum masa dua tahun tersebut atau meneruskannya lebih dari dua tahun maka hal tersebut boleh dilakukan. .
Demikian pula jika mereka mengajak perempuan lain untuk menyusui anaknya, maka tidak mengapa, asalkan perempuan yang menyusui itu diberi imbalan yang pantas atas jasanya, sehingga terjamin kemaslahatannya baik bagi anak maupun perempuan yang menyusui.
Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak menyusui dan mengasuh anak, jika terjadi perceraian antara suami dan istri. Apakah nafkah itu tanggung jawab ibu atau tanggung jawab ayah?
Imam Malik berpendapat bahwa ibu wajib menyusui anaknya, meskipun ia tidak mendapat ASI; Apabila ia masih mempunyai harta, maka anak tersebut akan ditempatkan pada pengasuhan orang lain dengan menggunakan harta ibunya. Imam Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa kewajiban tersebut adalah kewajiban ayah.