Berdasarkan catatan SETARA Institute, sejak tahun 2007 hingga tahun 2022 terdapat 586 kasus diskriminasi dan intoleransi yang dialami Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Dilihat dari rentang waktu, kasus diskriminasi dan intoleransi semakin meningkat seiring dengan semakin dekatnya tahun pemilu. Misalnya saja pada tahun 2008 menuju Pilpres 2009, tahun 2011 menuju Pilkada DKI tahun 2012, tahun 2013 menuju Pilpres tahun 2014, dan tahun 2016 menuju Pilkada DKI tahun 2017.
Dari penelitian dan pemantauan SETARA Institute, bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Ahmadiyah sangat kompleks. Hal ini mencakup kekerasan dan intimidasi, pelarangan beribadah, penyerangan terhadap tempat ibadah, diskriminasi dalam pelayanan publik, intoleransi, represi dan penelantaran negara, serta tindak ujaran kebencian yang dilakukan warga/kelompok masyarakat.
Masih dari data yang sama, pelanggaran KBB di kalangan Ahmadiyah banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat. Pelanggaran ini semakin diperkuat dengan adanya produk hukum yang diskriminatif. Setidaknya ada 23 produk hukum yang merampas hak konstitusional JAI di Jawa Barat. Selain di Jawa Barat, kasus pelanggaran juga ditemukan di Kalimantan Barat, Banten, Jawa Timur, NTB, dan Sumatera Utara.
Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan dijadikan objek politisasi identitas untuk meraih suara di tahun pemilu. Salah satu upaya politisasi tersebut adalah penyebaran hoax.
Sasaran masyarakat penyebar hoaks, misinformasi, dan disinformasi adalah interaksinya dengan kelompok mayoritas. Dengan menindas kelompok minoritas, mereka berharap mendapat sentimen positif dari kelompok mayoritas. Mayoritas punya potensi memilih yang jauh lebih besar, kata Halili saat ditemui di Yogyakarta. , Rabu (27/12/2023).
Halili juga membenarkan temuan bahwa isu Ahmadiyah dan politisasi identitas tidak akan begitu kuat pada pemilu tahun 2024. Ia mengungkapkan, hoaks yang menyasar Ahmadiyah mulai berkurang. Pada pemilu tahun-tahun sebelumnya, Ahmadiyah kerap menjadi sasaran penyesatan, misinformasi, dan disinformasi.
Menurut Halili, pada pemilu 2024 kali ini, kelompok minoritas seperti Ahmadiyah cenderung dijadikan sasaran intimidasi. Kelompok minoritas kini mulai diidentifikasi sebagai sumber intimidasi terkait perlunya perlindungan negara.
“Jadi, kalau Anda memilih calon tertentu, negara akan lebih melindungi Anda. Dibandingkan jika memilih calon lain, Anda tidak akan terlindungi. Atau kerentanan akan semakin meningkat jika tidak ada perlindungan dari negara.” jelas Halili.
Halili menjelaskan, ada dua faktor utama mengapa isu agama tidak begitu aktif di tahun pemilu ini. Pertama, saat ini politisasi identitas lebih banyak digunakan untuk kepentingan intra kelompok untuk mengkonsolidasikan internal pemilih agama. Bukan untuk kampanye hitam yang menjatuhkan.
Kedua, faktor konfigurasi kandidat. Saat ini, ketiga calon presiden dan wakil presiden dinilai tidak mungkin melakukan politisasi identitas.
Misalnya pada pasangan 01, Muhaimin Iskandar yang berasal dari PKB masih berhaluan erat dengan NU, kecil kemungkinannya menggunakan politisasi identitas yang biasa dilakukan kelompok konservatif, jelas Halili.
Begitu pula dengan pasangan 02. Pada periode sebelumnya, Prabowo juga mempunyai pemilih dari kelompok konservatif. Namun sejak bergabung sebagai Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, kelompok konservatif tersebut memisahkan diri dari Prabowo. Sementara pasangan 03, Halili juga menilai politik identitas tidak aktif karena kehadiran formasi Ganjar dan Mahfud MD.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah juga berpendapat serupa. Menurutnya, polarisasi pada pemilu tahun 2024 tidak akan terlalu kuat. Berbeda dengan Pilpres 2014 dan 2019 yang hanya menampilkan dua kandidat yang mewakili dua kelompok yang relatif berbeda ideologi.
“Nah, saat ini perbedaan ideologi tidak sekuat kemarin. “Jadi isu-isu yang bersifat polarisasi, baik isu agama maupun isu suku, tidak sehebat pada tahun 2014 dan 2019,” jelas Hurriyah.
Meski kini tampak tenang, namun potensi penyebaran hoaks yang menyasar Ahmadiyah belum hilang sepenuhnya. Hurriyah mengatakan, isu minoritas masih terus dipermainkan, terutama di media sosial.
“Kita bisa melihat. Di media sosial saja misalnya. “Ada upaya untuk memberi label,” kata Hurriyah.
Salah satu contoh labeling yang tersebar di media sosial adalah dukungan Ganjar Pranowo terhadap Ahmadiyah. Di media sosial Twitter misalnya, ditemukan narasi Ganjar mendukung aliran sesat karena tak ingin membubarkan Ahmadiyah di Jawa Tengah saat menjabat gubernur.
Pada tahun 2013, Ganjar mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah tidak perlu dibubarkan tetapi harus dibina. Sikap tersebut dijadikan label bahwa Ganjar adalah pendukung Ahmadiyah dan haram untuk dipilih.
Hoax seringkali mengandung unsur-unsur yang mendiskreditkan kelompok minoritas. Informasi palsu yang menyebarkan prasangka dan kebencian terhadap kelompok minoritas dapat berujung pada tindakan diskriminatif dan kejahatan berdasarkan ras atau agama.
Hurriyah menjelaskan, dalam suatu tahun pemilu, para pelaku pemilu kerap menggunakan hoaks untuk menciptakan ketakutan atau Fear Mongering terhadap kelompok minoritas. Hoax seringkali menggambarkan kelompok minoritas dalam proyeksi yang negatif atau mengancam.
“Ketika pelaku pemilu menggunakan strategi Fear Mongering, sangat mudah untuk melengkapi informasinya dengan informasi palsu. Jadi tujuannya untuk menciptakan ketakutan, maka terciptalah kebohongan,” kata Hurriyah.
Hurriyah menambahkan, dalam situasi konflik, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling terkena dampak. Artinya, dampak hoax berupa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat berdampak pada perempuan dan anak pada kelompok minoritas.
“Dalam situasi konflik, di mana pun, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Kelompok agama minoritas merupakan kelompok rentan. Perempuan dan anak-anak dari agama minoritas jauh lebih rentan. “Karena merekalah yang pertama kali menjadi korban konflik,” jelas Hurriyah.
Halili dan Hurriyah sepakat masih ada potensi politisasi identitas digunakan pada pemilu 2024. Kondisi ini akan lebih mungkin terjadi pada pemilu putaran kedua dan pilkada. Pada tahap itu, polarisasi bisa menjadi lebih tajam.
Hurriyah mengatakan, hoaks juga bisa semakin masif ketika masing-masing calon berebut pemilih yang belum menentukan pilihan atau belum menentukan pilihan. Salah satu cara untuk memperjuangkan pemungutan suara ini adalah dengan mempermainkan emosi.
“Ketika yang dilombakan adalah masyarakat yang belum menentukan pilihan (undecided voter), maka yang dianggap paling efektif untuk mempengaruhi perubahan preferensi suaranya secara cepat adalah ketika menyentuh emosi,” kata Hurriyah. Makanya politik identitas yang juga dibalut hoaks lebih besar peluangnya untuk dimainkan, imbuhnya.
Potensi meningkatnya hoaks bisa saja terjadi pada pilkada mendatang. Halili Hasan mengatakan, pilkada menjadi ajang maraknya isu politisasi identitas.
“Pilkada DKI 2017 sebenarnya merupakan politisasi identitas yang paling kuat. Ada pula beberapa fenomena politisasi identitas pada Pilkada Serentak. Ini terjadi di Jawa Barat dan Sumut,” kata Halili.
Pilkada lebih bersifat lokal, dengan fokus pada isu-isu yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat setempat. Memasukkan identitas etnis, agama, atau budaya dapat menjadi strategi untuk mendapatkan dukungan kuat di tingkat lokal.