Affandi Koesoema adalah seorang pelukis berbakat yang dianggap sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia dengan gaya abstrak dan romantis. Ia dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1907 di Cirebon, Jawa Barat, sebagai putra dari R. Koesoema, seorang petugas ukur di sebuah pabrik gula di Ciledug, Cirebon.
Meski berasal dari kalangan bawah, Affandi mengenyam pendidikan formal yang cukup tinggi. Ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS) pada masa penjajahan Belanda, yang hanya dapat diakses oleh segelintir anak Indonesia.
Sebelum berkarir sebagai pelukis, Affandi berprofesi sebagai guru dan juga menjadi penjual tiket dan pembuat baliho di salah satu bioskop di Bandung. Namun ketertarikannya yang mendalam terhadap seni lukis akhirnya menggusur profesi lain dalam hidupnya.
Bakatnya dalam melukis sangat cemerlang, dan seiring berjalannya waktu, ia menjadi salah satu pelukis terkemuka di Indonesia. Pada usia 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis asal Bogor, dan mereka dikaruniai seorang putri bernama Kartika Affandi.
Affandi juga diketahui tergabung dalam kelompok Lima Pelukis Bandung, bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, Wahdi, dan dirinya sebagai ketua kelompok. Kelompok ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia.
Pada tahun 1943, di tengah pendudukan Jepang di Indonesia, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera, Djakarta. Selain karya seni, ia juga mengikuti berbagai kegiatan yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain memproduksi poster bertuliskan “Boeng, ayo boeng” yang merupakan saran dari Chairil Anwar.
Berkat kepiawaiannya dalam melukis, Affandi mendapat beasiswa belajar seni rupa di Santiniketan, India. Meski akhirnya ditolak karena dianggap sudah ahli di bidang seni, ia menggunakan dana beasiswanya untuk menyelenggarakan pameran keliling India.
Pada tahun 1950-an, Affandi terlibat dalam pemilu Konstituante sebagai wakil masyarakat non-partai. Ia membahas tentang animalisme, bukan kemanusiaan, sehingga membuatnya dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan. Pada tahun 1955, ketika ia memperjuangkan peternakan, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan masih rendah.
Selain itu, Affandi juga merupakan bagian dari pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang kemudian dibubarkan oleh rezim Soeharto. Ia juga berkontribusi di Institut Seni Rupa bersama tokoh-tokoh seperti Basuki Resobowo dan Henk Nhang.
Pada tahun 1960-an, Affandi mengadakan pameran di gedung USIS Jakarta, padahal saat itu sedang ada gerakan anti imperialis AS yang gencar menyerang Vietnam, serta boikot budaya AS di Indonesia.
Affandi merupakan salah satu ikon seni rupa Indonesia yang mengukir sejarah dalam seni lukis, dan karyanya terus mempengaruhi dan menginspirasi generasi pelukis berikutnya.