Penyelenggaraan pemilu pada masa Orde Baru di Indonesia mempunyai sifat teknis yang terstruktur, dengan fokus pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan Presiden diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sistem pemilu yang digunakan dalam enam pemilu berturut-turut adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup, dimana seluruh kursi di setiap daerah pemilihan dibagi secara proporsional.
Metode penghitungan kursi yang diterapkan menggunakan stembus accord, yaitu mekanisme penggabungan sisa suara yang tidak habis dibagi jumlah pemilih. Hal ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antar partai peserta pemilu. Penggunaan kesepakatan stembus memungkinkan penambahan jumlah kursi dalam suatu daerah pemilihan dan mengurangi sisa suara yang tidak terpakai, serta menambah dinamika pembagian kursi.
Selama enam pemilu masa Orde Baru, yakni pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, pola penyelenggaraannya tetap konsisten. Pada pemilu 1971, terdapat sepuluh partai politik yang ikut serta dan Golongan Karya berhasil memperoleh suara terbanyak, mencerminkan dinamika politik pada masa itu.
Keanggotaan DPR pada masa Orde Baru mencerminkan adanya delegasi golongan yang diangkat, terdiri dari 100 orang setiap pemilu, yang sebagian besar berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pemilu pada masa Orde Baru tidak hanya sekedar mengatur peristiwa demokrasi, namun juga mencerminkan dominasi kekuasaan dan kontrol pemerintah terhadap sistem politik Indonesia saat itu. Selain itu, keberhasilan Golongan Karya meraih suara terbanyak menunjukkan kuatnya peran partai ini dalam dinamika politik saat itu yang menciptakan pola pemerintahan yang cenderung berpusat pada kekuasaan dominan.